"Mam? Bisa nggak acara keluarga besar kita diundur?" tanya Dira di sela-sela acara sarapan keluarganya.
Sontak dia langsung mendapat sorotan penuh dari kedua orang tuanya. "Memangnya kenapa, sayang?" balas Avi heran.
"Waktu itu Mama bilang acaranya bulan depan, kan?" Dira memilih berusaha mencari penjelasan daripada menjelaskan alasannya terlebih dulu.
Kedua orang tuanya saling berpandangan. "Bukannya bulan depan atau minggu depan sama aja?" tanya Hendra --Papa Dira memastikan.
Dira menghela napas berat. "Tapi dalam waktu dekat ini aku belum siap, Pa...," lirihnya. Akhirnya Dira berterus terang.
"Cepat atau lambat kamu juga akan ketemu sama calon kamu itu, Dira. Jadi sama aja, kan?" ujar Avi halus tapi justru semakin membuat Dira resah. Mama Dira itu sudah tau pasti kemana arah pembicaraan Dira.
Dira seketika menghentikan aktivitas sarapannya. "Mama tau kan ini semua bukan kemauan Dira?" katanya lirih dan putus asa untuk menolak tradisi keluarganya.
"Sayang, kamu udah tujuh belas tahun. Mama nggak nyuruh kamu langsung nikah, kan?" Avi berusaha memberi pengertian kepada Dira.
Hendra menyentuh puncak kepala Dira. "Kamu bisa mengenal dia dulu, sayang. Waktunya masih lama untuk berpikir lebih jauh, jangan takut ... kamu tenang aja, ya?"
Dira hanya bisa diam. Dalam posisi ini dia tidak akan bisa mengalahkan argumen orang tuanya. Sekuat apapun dia berusaha, tradisi itu akan tetap berlaku untuknya. Jalan satu-satunya yang masih bisa Dira lakukan hanya cara dari Nindya waktu itu. Cara yang sedikit gila tapi terasa seperti oasis di padang pasir keresahan hati Dira. Bisa jadi hanya itu jalan terbaik untuk mengubah takdirnya.
Tapi bagaimana Dira melakukannya?
-.-.-.-.-
"Dira? Lo dengerin gue nggak, sih?" kata Farhan sedikit kesal. Dira yang baru tersadar dari lamunannya langsung mengusap wajahnya dan tersenyum polos.
"Emang lo ngomong apa, Han?"
Sontak Farhan menepuk dahinya. Ceritanya selama lebih dari lima menit terakhir terasa sia-sia. Dia menghela napas berat, mencoba memaklumi sepupunya ini. Dira terlihat berbeda pagi ini, seperti ada beban yang dirasakannya.
"Lo kenapa, sih? Lagi ada masalah, ya?" tanya Farhan mencoba memancing gadis yang duduk di jok sebelahnya ini untuk bercerita.
Semenjak Farhan tidak akur dengan Bella, dia lebih memilih menjemput Dira untuk berangkat sekolah bersama. Biasanya gadis itu cerewet, konsisten menjalankan hobby-nya berdebat dengan Farhan. Tapi kali ini terlihat dia murung.
Dira masih bungkam.
"Kenapa? Nggak mau cerita sama gue, nih?" tebak Farhan menanggapi Dira yang sepertinya berat untuk bercerita. "Lo sendiri pernah bilang ke gue, masalah itu harus dibagi. Jangan dipendem sendiri. Siapa tau solusi yang lo cari dateng melalui gue sebagai perantaranya. Iya, nggak?" lanjutnya sambil menoleh, mencoba meyakinkan Dira.
Dira menghela napas. "Gue mau dijodohin, Han," sahutnya singkat dan lirih.
Mata Farhan membulat. "Hah?" sentaknya hampir tidak yakin dengan pendengarannya sendiri. Dia meneliti ekspresi Dira, tidak ada mimik bercanda di sana.
"Gue harus gimana, coba?"
Farhan mencoba memfokuskan pandangannya kembali ke depan. "Lo ... udah tau siapa calon lo itu?"
Dira menggeleng lemah. "Gue bakal ketemu dia sekitar dua minggu lagi, pas acara keluarga besar nyokap gue. Lo tau? Gue nggak mau dijodohin kaya gini," lirihnya putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Time
Teen FictionKata orang, cewek dan cowok itu nggak akan bisa menjalin hubungan persahabatan murni. Kenapa? Mungkin klise, sudah terlalu sering terbukti. Bukan hal aneh lagi jika ungkapan ini ternyata berlaku juga diantara Dira dan Reval. Tidak ada kisah cinta y...