-Sembilan belas-

4.3K 402 140
                                    

Jantung Dira seketika berdebar keras. Sontak kakinya langsung melangkah menuju tempat yang dimaksud Alva. Rasa penasaran yang membuncah di dalam dirinya, membuat Dira tidak sempat menerka apa yang direncanakan Alva.

Balon merah yang tadi dilihatnya membumbung ke angkasa berasal dari lapangan tenis outdoor belakang auditorium. Dira masih berjalan dengan ponsel yang menempel di telinga. Lapangan tenis cukup ramai, punggung beberapa siswa lain menghalangi penglihatan Dira.

Dira mengerahkan sebelah tangannya untuk membelah kerumunan itu. Beberapa dari mereka yang menyadari kedatangan Dira, sontak minggir dan langsung memberi jalan dengan senyuman yang sulit diartikan. Dira masih menggumamkan kalimat 'permisi' sampai akhirnya dia bisa melihat apa yang ada di lapangan dengan jelas.

Mata Dira membulat seketika. Jantungnya terasa mau loncat dari tempatnya karena berdetak terlalu kencang. Darahnya terasa mengalir dengan cepat. Langkahnya terhenti dan dengan gerakan lambat, Dira menurunkan ponselnya yang sedari tadi masih menempel di telinga.

Lapangan itu penuh dengan balon beraneka warna. Alva berdiri di tengahnya, bibirnya menyunggingkan senyuman manis seperti biasanya. Tanpa sadar, Dira masih menahan napasnya saat pandangannya membaca tulisan besar dari balon yang terikat pada bucket bunga berukuran besar di tengah lapangan.

I  L O V E  Y O U

I want you to be mine, Dira

Dira masih membeku di tempat. Matanya berbinar tidak percaya melihat tulisan di depannya itu. Mendadak otaknya lumpuh ketika diajak berpikir. Perlahan Alva melangkah dari tengah lapangan mendekati Dira yang mematung di pinggir lapangan, tidak tau harus melakukan apa.

Raut wajah Alva belum berubah, masih tenang dengan senyuman manis yang secara ajaib mampu membuat Dira semakin terhipnotis. Dira tidak sadar, mungkin sekarang mulutnya masih menganga meskipun dia seketika kehilangan kata-kata untuk diucapkan.

Alva sedikit menunduk untuk mensejajarkan wajahnya dengan Dira. Sontak Dira menahan napasnya ketika menyadari jarak wajah Alva sangat dekat dengannya. Pandangannya bertemu dengan mata Alva yang berwarna kecokelatan.

"Gimana jawabannya, Dir?"

Suara berat Alva yang lebih terdengar seperti bisikan lembut itu akhirnya mengalun pelan ditengah banyak teriakan histeris dari mereka yang memadati pinggir lapangan tenis. Mereka yang diam-diam mengidolakan Alva sekaligus merasa iri melihat Dira sekarang. Sejurus kemudian, Dira berhasil keluar dari kebekuannya sendiri. Dira sadar untuk beberapa saat membiarkan matanya berkedip.

Alva masih terlihat tenang menanti jawaban yang diharapkan secepatnya meluncur dari bibir Dira. Pemuda itu sangat memaklumi ekspresi terkejut Dira dan cukup wajar jika gadis itu seketika membeku.

Tidak bermaksud ingin mendesak, tapi melihat Dira belum memberikan respon berarti, Alva menambahkan kalimatnya, "Gue tau ini terlalu cepat buat lo, Dir. Tapi gue harap, lo bisa jawab sesuai apa yang dibilang sama hati lo."

Dira akhirnya mendongak menatap Alva. Matanya sudah lebih bernyawa sekarang. Dira sadar ini kenyataan, bukan mimpi yang bisa dinikmati dengan mata terbuka. Tangannya bergerak perlahan, menyambut uluran Alva. "Gue mau, Al. I'm officially yours, now."

Mata Alva melebar seiring senyumnya yang semakin mengembang. Akhirnya dia bisa bernapas lega sekilas lalu mengeratkan tangan Dira yang ada di dalam genggamannya.

Seketika seluruh lapangan bertepuk tangan dengan riuh. Teriakan histeris dari mereka yang terbawa suasana belum mereda. Euforia kebahagiaan yang dirasakan Alva langsung menular pada mereka yang sedari tadi menjadi penonton di pinggir lapangan. Balon-balon yang menghiasi lapangan itu serentak terbang dan menghias langit biru dengan berbagai warna.

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang