-Empat puluh [END]-

6.6K 402 100
                                    

Dira tertegun setelah memindai suasana retoran ini masih sama seperti terakhir kali dia datang ke sini bersama Alva. Pemandangan yang disajikan dari rooftop gedung ini, justru nampak semakin indah dibanding beberapa tahun lalu. Meskipun lapangan hijau di sebelah barat sana telah digantikan oleh jalan raya bertingkat, Dira tetap terpukau dengan keindahannya selepas senja.

Tempat ini, menjadi saksi bisu pertama kalinya Alva mentraktir Dira setelah hubungan mereka menjadi sedikit lebih dekat. Secara mengejutkan, dia juga bertanya langsung pada Dira apakah gadis itu bersedia menjadi pacarnya sebelum esok harinya, Alva mengungkapkan perasaannya di depan semua orang. Waktu itu Dira masih bingung memikirkan solusi dari perjodohannya bersama Ryan.

Gadis itu baru sadar semuanya terasa mudah sejak hari itu. Alva seperti jelmaan malaikat yang Dira minta pada Tuhan untuk meringankan segala masalah yang tengah menderanya. Segalanya memang berubah sejak kedatangan Alva. Dia masuk ke dalam kehidupan Dira dan sukses membuat gadis itu merasa beruntung, meskipun belakangan banyak latar belakang pahit juga yang harus diterima Dira.

Keduanya diam selama perjalanan dan kini duduk berhadapan dengan canggung. Suasana angin malam yang berhembus terasa menusuk tulang, beruntung Dira mengenakan blazer yang cukup tebal. Meja yang mereka tempati biasanya dipesan untuk momen romantis. Mereka tidak bisa memilih lagi karena meja yang lain telah dipesan, dengan kata lain tidak ada meja kosong selain ini.

Selama beberapa saat, suasananya masih hening. Hanya ada suara musik pelan yang dilantunkan si pemain biola restoran ini. Dira dan Alva sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka hanya saling melirik sambil terus memutar otak merangkai kata. Belenggu itu sedikit mencair ketika pasta pesanan mereka telah siap dihidangkan oleh pelayan.

"Gue minta maaf."

Mereka terbelalak bersamaan menyadari kalimat itu dilontarkan keduanya dalam waktu yang sama. Entah bagaimana pikiran mereka bisa selaras itu. Reflek pandangan mereka jadi saling bertemu juga dan seketika terpaku satu sama lain.

"Maaf, tadi gue bener-bener nggak bermaksud nampar lo," ujar Dira langsung melanjutkan kata-katanya setelah memulihkan ekspresinya.

"Maaf gue udah terlalu nyakitin lo."

"Gue tau, gue nggak seharusnya sampe nampar lo kaya gitu, Al."

"Gue tau, gue nggak seharusnya ninggalin lo selama itu dan nggak ngasi kabar sama sekali."

Dira mengatupkan bibir setelah menyadari Alva membalikkan semua kata-katanya. Ada harapan besar dari kedua manik menawan pemuda itu, berharap semuanya masih bisa diperbaiki. Terpancar jelas Alva berharap dia belum terlambat pada kali kedua.

"Setelah gue pergi ke New York, gue bener-bener ngerasa kosong," Alva memulai ceritanya selagi Dira memberinya kesempatan. "Papa nggak bisa pulih kaya semula lagi, dan akhirnya gue ... sebagai anak laki-lakinya mau nggak mau harus kuliah di sana sambil tetep menjalankan perusahaan keluarga."

Dira masih belum merubah ekspresi dinginnya tapi dia telah memasang telinganya lebar-lebar. Mencoba mendengarkan segala cerita dan alasan yang berusaha disampaikan Alva. Gadis itu berharap menemukan alasan baik untuk mulai mengerti dan memahaminya lagi.

"Ajaibnya perusahaan itu justru jadi berkembang pesat di tangan gue, padahal gue nggak berencana stay selama itu di sana. Di satu sisi, gue juga fokus nyari celah gimana caranya biar gue bisa balik ke Indonesia secepatnya. Sampai akhirnya, sekarang gue udah dapet kepercayaan buka perusahaan induk kedua di sini," jelas Alva.

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang