Dira merasa ada seseorang yang berjalan mendekatinya. Dia menoleh dan mendapati pemuda di foto itu sudah berdiri di sampingnya sambil melongo menatapnya.
"Cantika?" tanyanya tidak yakin sambil masih membelalak heran.
Dira tersenyum santai menanggapinya. "Hai! Iya ini gue, Cantika Anindira Winata," sahut Dira sambil mengulurkan tangannya untuk berjabatan. Tapi melihat pemuda di depannya masih terpaku, Dira menarik tangannya lagi. "Oh iya, lo pasti udah kenal sama gue."
Ravy membeku di tempat. Dia masih tidak percaya dengan gadis di depannya ini, yang justru santai menanggapi ini semua. "Dira? Jadi lo Dira? Cantika itu ... lo, Dir?" tanyanya lagi bertubi-tubi dan tidak habis pikir. Dira justru masih tersenyum tenang seperti sudah menduga ekspresi pemuda di depannya.
Dira menepuk tempat duduk di sampingnya sebagai isyarat agar Ravy mengikutinya untuk duduk. "Tenang dulu, coba...," kata Dira pelan. Pemuda itu menghela nafasnya. "Awalnya gue juga shock pas tau Ravy Putra Adryanza itu lo, Yan." Dira tersenyum miris ketika memanggil nama akrab pemuda itu.
"Lo udah tau?"
Dira mengangguk lemah. "Pas gue baca nama lo di kertas itu, nggak ada yang aneh. Tapi ketika gue liat foto lo, saat itu juga gue ngerasa dunia gue yang sempit ini jungkir balik," ujar Dira sambil menatap lurus ke depan menghindari tatapan pemuda di sampingnya yang terfokus ke arahnya.
"Curang!" katanya sambil terkekeh kecewa. Dira menoleh menatapnya. "Gue nggak dapet foto lo sama sekali. Dan karena itu, gue pengen ketemu lo sebagai Ravy ... bukan Ryan, gue kira lo belum kenal gue. Makanya gue kaget banget pas ngeliat lo yang dateng ke sini."
Dira menghela nafas. "Gue tau, karena nggak ada satupun temen gue yang manggil gue Cantika. Dan pas lo sms itu sebagai Ravy, gue tau lo pasti bakal kaget banget," kata Dira masih tersenyum tipis.
"Oke, jadi kita tertipu karena panggilannya sama-sama nggak pake nama depan, iya, kan?" kata Ryan sudah lebih tenang dan detik selanjutnya dia dan Dira tersenyum getir menertawai takdir ini.
Seketika hening sejenak. Semakin sore, area olahraga ekstrim itu justru semakin ramai. Dira dan Ryan tenggelam dalam lamunannya masing-masing sambil masih menatap mereka yang sibuk naik turun tembok berbatu itu. Terlalu banyak pertanyaan yang mendesak ingin keluar bersamaan. Siapa sangka keduanya merasa bersalah karena masih berusaha menjaga perasaan seorang gadis?
Seorang pemuda lain terlihat antusias memperhatikan mereka dari kejauhan. Pemuda itu, orang yang sama dan sempat berbicara dengan Ryan tadi sebelum Ryan menemui Dira. Dia benar-benar menghentikan aktivitas pemanasannya hanya untuk memperhatikan Dira dengan seksama.
Akhirnya pemuda itu yakin, Dira tidak asing untuknya. Selain mereka berada di sekolah yang sama, ada hal lain yang membuatnya tertarik dengan gadis itu.
Dira mengingatkannya pada dia, sosok gadis yang telah pergi dari hidupnya.
Pemuda itu tersenyum tipis dan kemudian tepukan di bahunya membuatnya beralih perhatian. Setidaknya kali ini dia merasa beruntung, otaknya belum sempat tenggelam sepenuhnya karena semua kenangan itu. Pemuda itu memilih untuk kembali melanjutkan pemanasannya yang terpotong.
"Lo ... enggak nerima perjodohan itu, kan?" tanya Dira pelan dan hati-hati, berusaha memecah keheningan dan memulai pembicaraan inti.
Ryan menoleh. "Lo gimana?" katanya justru balik bertanya membuat Dira lagi-lagi menghela nafas paksa.
"Kalo gue, dari awal gue memang udah menolak itu, Yan." Dira menunduk menatap sepatunya yang bergerak karena kakinya mengayun. "Terlalu banyak alasan yang bikin gue nggak bisa nerima itu," lanjutnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Time
Ficção AdolescenteKata orang, cewek dan cowok itu nggak akan bisa menjalin hubungan persahabatan murni. Kenapa? Mungkin klise, sudah terlalu sering terbukti. Bukan hal aneh lagi jika ungkapan ini ternyata berlaku juga diantara Dira dan Reval. Tidak ada kisah cinta y...