-Dua puluh tiga-

4.2K 348 103
                                    

Dira masih mengernyitkan kening saat Alva tidak membocorkan sedikitpun tentang tempat tujuan mereka. Lift yang mereka naiki berdenting, Alva mulai melangkah keluar sambil masih menggenggam tangan Dira.

Berbeda dengan lorong di lantai apartemen Alva, koridor di lantai ini kosong. Hanya ada beberapa ruangan yang khusus ditujukan untuk pegawai gedung. Dira yakin, tidak sembarang orang bisa mengakses lantai yang paling tinggi ini.

Keheningan masih memeluk mereka berdua sampai akhirnya Alva membuka sebuah pintu dan mempersilahkan Dira masuk duluan. Dira masih menurut dan sejurus kemudian angin kencang terasa menerpa rambutnya yang kecoklatan.

Dira tertegun melihat tempat ini. Dia hampir tidak percaya dirinya bisa berdiri di atas sebuah gedung dengan 45 lantai. Gadis itu kini berada di rooftop gedung apartemen Alva. Langit senja sore ini semakin terlihat menawan, Dira masih terpukau sehingga tidak mampu berkata-kata.

"Gimana, Dir?" tanya Alva tersenyum puas melihat Dira yang masih takjup. Dia hanya ingin mendengar tanggapan gadis itu. Mereka berjalan sedikit ke pinggir sehingga Dira mampu melihat jalanan yang sibuk, jauh di bawah sana.

Dira menatap Alva dengan kagum. "Gila! Ini keren banget, serius," ungkap Dira lalu dia beralih lagi menyaksikan matahari tenggelam yang terlihat sangat jelas dan indah.

"Ini tempat favorit gue," kata Alva lalu ikut menerawang senja yang cerah di ufuk barat. "Lo jadi cewek pertama yang gue ajak ke sini, Dir."

Dira tertawa hambar mendengarnya. "Lo pasti bercanda," sanggahnya santai. Alva memang biasa membuatnya merasa melambung tinggi, tapi untuk kali ini Dira tidak bisa percaya begitu saja.

Dira sadar, meskipun Alva yang pertama untuknya tapi sebelumnya gadis itu yakin Alva pasti telah memiliki pacar. Dengan kata lain, Dira bukan yang pertama. Tempat ini terasa spesial untuk seorang Alva, jadi wajar jika Dira menduga kata-kata Alva tadi hanya gurauan.

"Gue serius," kata Alva menegaskan, seketika membuat kekehan Dira berangsur-angsur memudar. "Sebelumnya nggak ada yang dateng ke sini bareng gue selain lo," lanjutnya semakin memperjelas dengan ekspresi Alva yang serius.

"Wah! Kalo gitu, gue bener-bener merasa spesial," sahut Dira masih berbinar kagum menatap Alva.

Alva mengelus rambut Dira lembut. Dia mengajak Dira duduk di pinggir rooftop sehingga kaki mereka seperti melayang di atas jalanan yang padat di bawah sana. Dira sedikit bergidik mengingat gedung ini sangat tinggi, tapi menyadari Alva terus memegang tangannya dia merasa cukup aman.

Ada keheningan yang mengalir diantara mereka. Dira masih sibuk menikmati sunset hampir usai dengan senyum ceria yang masih bertengger di bibirnya. Tanpa disadari, Alva justru memilih memperhatikan Dira diam-diam.

Fokus utamanya bertumpu pada gadis di sebelahnya ini. Gadis yang selalu membuatnya mengingat dia. Akhirnya Alva mengakui bahwa Dira memang memiliki banyak kesamaan dengan Erina. Alva merasa ada beberapa hal yang seperti melekat kuat pada Dira.

Perlahan, Alva merutuki dirinya sendiri dalam hati. Dia merasa bersalah karena masih terbayang sosok Erina pada Dira. Dia tidak bisa menjadikan Dira seorang yang sepenuhnya terlepas dari figur gadis masa lalunya itu.

Alva menunduk, mengalihkan pandangannya sejenak. Dia mencoba menanam keyakinan di dalam hatinya jika terus bersama Dira, akan ada saatnya nanti dia bisa sepenuhnya melupakan Erina dan menebus segala kesalahannya.

Dia yakin, ini bukan pelampiasan dan juga bukan pelarian. Alva hanya mencoba berdamai dengan masa lalunya dan mulai menata kehidupan yang berjalan ke depan. Perlahan tapi pasti, Alva yakin Dira mampu membuatnya jatuh cinta seutuhnya.

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang