"Viola?"
Alva terperangah, tidak percaya melihat gadis yang duduk di sofa ruang tengah itu. Sontak pemilik nama menoleh, tersenyum lebar dan langsung beranjak memeluk Alva.
"Alva sweetheart! I miss you, my handsome boy," ungkapnya sumringah.
Alva masih mematung, belum pulih dari keterkejutannya. Dahinya berkerut heran. "Kapan lo dateng? Kenapa tiba-tiba ke sini?"
Gadis berambut pirang itu mengurai pelukannya. "Kok lo kaya nggak seneng gitu, sih, Al? Emangnya lo nggak kangen apa sama kakak lo yang cantik ini?" protes Viola lalu mengerucutkan bibir.
Alva mengedikkan bahunya remeh. Mengabaikan ekspresi manja kakak kandungnya itu. Dia tersenyum kecil menyadari sikap Viola belum berubah, masih kekanak-kanakan seperti dulu. Tidak ada yang berbeda diantara mereka.
"Ish, ceritanya gue mau ngasi kejutan ke lo. Gue sengaja nggak bilang, tadi Om Ian yang jemput gue di Bandara. Gue baru aja nyampe, makanya masih jet lag nih," jelas Viola masih mengekor di belakang Alva.
Alva melempar kunci mobilnya ke meja depan TV. Dia duduk di sofa lalu menghela napas berat. Rasa lelah terasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Gadis bernama Viola itu juga ikut duduk, masih memperhatikan Alva dengan mata berbinar-binar.
"Lo balik ke sini sendiri?"
Viola meraih toples camilannya lagi, lalu mengangguk. "Mama sama Papa, kan, selalu sibuk. Gue lagi libur kuliah, bosen aja selalu sendirian di New York," ujarnya santai.
"Terus sebenernya lo mau ngapain ke Indo?" selidik Alva, dia mulai curiga.
"Puas-puasin main sama belanja dong." Viola tersenyum lebar, tidak menghiraukan Alva yang sudah berdecak sambil memutar bola matanya. "Pokoknya selama gue di sini, lo harus temenin gue jalan-jalan sama belanja, okay!"
Alva melototkan matanya. "Nggak, nggak bisa gitu!" protes Alva, menyanggah tegas. "Bentar lagi gue udah UN, Vi. Lo nggak mikirin gue banget, sih?"
Viola menepuk-nepuk pundak Alva. "Gue cuma sebentar di sini, Al. Lagian kata Om Ian lo udah bimbel, kan? Santai aja ... gue jamin lo pasti lulus, deh. Jadi, nggak usah terlalu rajin belajar kali," ucapnya sambil menaik-turunkan alisnya.
Gadis itu kemudian mengambil benda pipih berlayar lebar di meja sebelah sofa dan mengotak-atiknya dengan santai. Mimik wajahnya masih ceria dan bersemangat, berbeda 180 derajat dengan ekspresi lesu Alva saat ini.
"Liat deh, gue udah bikin daftar belanjaan juga," katanya sumringah sambil menunjukkan layar ponselnya padahal adik laki-lakinya itu justru terlihat enggan menoleh. Lagi-lagi Alva meloloskan napas beratnya.
Pemuda itu kemudian berdiri, hendak beranjak menuju kamarnya. Dia melirik Viola sekilas, gadis itu masih berkutat dengan ponselnya dan seperti tidak terpengaruh sama sekali dengan ketidakpedulian Alva. "Iya, deh, iya!" sahut Alva akhirnya.
Sejak dulu, Alva memang selalu menuruti apapun keinginan Viola. Tidak ada gunanya jika ingin menolak sekalipun, Viola selalu memenangkan perdebatan di antara mereka berdua. Kedekatan yang terjalin diantara mereka memang sering berawal dari perdebatan kecil.
Alva cukup akrab dengan kakaknya itu sampai dirinya tidak diharuskan memanggil Viola dengan embel-embel 'kakak' seperti yang seharusnya. Mereka berperilaku layaknya orang sebaya, padahal umur Viola lebih tua tiga tahun dari Alva. Selain itu, meskipun intensitas pertemuan mereka termasuk sangat jarang, tapi tetap tidak ada kecanggungan sedikitpun.
"Thank you, sweetheart!"
-.-.-.-.-
Beauty: Alva, gue mau jenguk Bella lagi, nih. Tapi bareng Reval juga. Boleh nggak?
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Time
Teen FictionKata orang, cewek dan cowok itu nggak akan bisa menjalin hubungan persahabatan murni. Kenapa? Mungkin klise, sudah terlalu sering terbukti. Bukan hal aneh lagi jika ungkapan ini ternyata berlaku juga diantara Dira dan Reval. Tidak ada kisah cinta y...