Dira memangku dagunya malas sambil menunduk menatap buku paket bahasa Indonesia yang terbuka di mejanya. Tapi nyatanya, pandangannya kosong. Dia sama sekali tidak memperhatikan materi apa yang terpampang jelas di buku itu. Pikirannya melayang jauh, mengingat kejadian sore kemarin yang terputar seperti film di otak Dira, jika memang nyata maka itu belum bisa dia percaya secara penuh sampai sekarang.
"Lo mau nggak jadi pacar gue?" Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Alva yang langsung membuat Dira menahan napasnya sendiri karena tersentak tidak percaya.
Ini mimpi? Atau gue cuma salah denger? --Dira terus membatin di dalam hatinya sedangkan tubuhnya mendadak menegang.
Mata Dira masih melebar menatap iris Alva yang berwarna cokelat menawan. Alis gadis itu terangkat sempurna. Suaranya menghilang seiring tubuhnya seketika berkeringat dingin dan otaknya lumpuh untuk memberi tanggapan cepat.
Alva yang menyadari kegugupan gadis di depannya langsung berusaha menyela, "Oke, gue tau mungkin ini momen yang nggak tepat." Pemuda itu menghela napasnya. Dia menarik dua sudut bibirnya dan tersenyum tipis. "Lo nggak perlu jawab sekarang, Dir."
"Lo pasti ... ini becanda, kan?" tanya Dira setelah mengerjapkan matanya beberapa kali dan berusaha mengeluarkan suaranya yang tertahan di tenggorokan. Napasnya masih tidak teratur, dia belum berhasil menetralkan gemuruh jantungnya.
"Gue tau ini terlalu cepat buat lo...," respon Alva memaklumi pemikiran Dira. "Tapi gue serius, Dir. Syarat dari gue ... lo cuma harus jawab pertanyaan itu. Nggak harus sekarang. Dan apapun jawaban lo, nggak ngaruh karena gue akan tetep bantuin lo," sahutnya santai lalu menutup penjelasannya dengan senyuman.
"Cantika Anindira Winata!" seru seseorang sontak membuat Dira terlonjak dan mengangkat kepalanya. Dia merasa diseret secara paksa untuk keluar dari lamunan panjangnya.
Pikirannya yang belum sepenuhnya balik ke dunia nyata secara konyol memerintahkan dia berujar, "Iya, mau." Dua kata yang terdengar cukup jelas di antara suasana kelas yang hening dan detik itu juga Dira menjadi pusat perhatian teman satu kelasnya yang menatapnya heran.
Dira mengusap wajahnya sekilas dan mengedarkan pandangan, mencari sosok yang menyeru namanya dengan lengkap. Bola matanya berhenti bergerak ketika menemukan Bu Lena --guru bahasa Indonesia yang sedang mengajar di kelasnya, mengerutkan dahi menatapnya. "Mau apa, Dira?"
Dira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sambil merutuki diri sendiri di dalam hatinya. Gadis itu sadar, dia salah merespon. Dia akhirnya menyerah mencari alasan dan memilih tersenyum polos sambil menggeleng pelan. "Enggak papa, Bu," sahutnya lalu sedikit menunduk.
Guru itu berjalan dari depan kelas mendekati bangku Dira. "Kamu tau, kan, melamun di pelajaran saya termasuk pelanggaran bernilai minus?" tanya Bu Lena sambil melirik Dira sekilas dari balik kaca mata bulatnya.
Dira mengangguk paham sambil masih mengupayakan wajah bersalahnya. "Maaf, Bu."
-.-.-.-.-
Dira menarik napasnya saat melangkahkan kaki keluar kelas beserta tumpukan buku tugas teman sekelas yang ada di tangannya. Harus mengumpulkan buku ke ruang guru mungkin sudah menjadi rutinitasnya. Tapi kali ini, guru itu tidak memintanya karena Dira murid favoritnya. Bu Lena sengaja menugaskan Dira untuk menebus kesalahannya melamun di kelas tadi.
Dira melirik pintu kelas XI IPA 1 yang tertutup rapat itu. Biasanya, dia berharap Reval bisa muncul dari balik sana tapi kali ini justru sosok Alva yang sedang bertengger di pikiran Dira. Alva, pemuda itu kebetulan sekelas dengan Reval karena ada satu orang di kelas itu yang pindah di tengah semester.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Time
Teen FictionKata orang, cewek dan cowok itu nggak akan bisa menjalin hubungan persahabatan murni. Kenapa? Mungkin klise, sudah terlalu sering terbukti. Bukan hal aneh lagi jika ungkapan ini ternyata berlaku juga diantara Dira dan Reval. Tidak ada kisah cinta y...