-Tiga puluh sembilan-

4.4K 333 110
                                    

-Bertahun-tahun kemudian-

Selepas lulus kuliah, Dira kembali ke rumah orang tuanya. Dia sudah berhasil mandiri selama beberapa tahun belakangan. Segalanya terpaksa dilakukannya sendiri, tanpa Farhan, Reval dan tentu saja tanpa Alva. Berjauhan dengan tiga orang yang selalu melindunginya semasa SMA mungkin terasa sulit jika dibayangkan, tapi ketika dijalani nyatanya tidak seburuk itu.

Farhan --sepupu Dira itu, kuliah di kota yang berbeda juga. Sekarang setelah lulus, dia memutuskan menetap di kota itu untuk membantu usaha ayahnya. Kebetulan Rani juga sedang berkuliah di kota yang sama. Dira dan Farhan menjadi jarang bertemu satu sama lain, meskipun komunikasi diantara keduanya tidak pernah terputus.

Dira mendesah pelan sambil masih mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, matanya terpaku pada layar monitor yang menyala di depannya. Gadis itu kini sedang gencar-gencarnya mengirim lamaran ke beberapa perusahaan besar di kota ini.

Persaingan yang terjadi cukup sulit, mengingat banyak fresh graduate seperti dirinya yang sangat tidak sebanding jumlahnya dengan lowongan yang tersedia. Dia melirik ponsel yang masih menyala di sebelahnya, membaca ulang alamat email perusahaan yang dikirim Reval.

Dira menarik napas, berharap lamarannya kali ini akan dilirik HRD perusahaan rekomendasi Reval itu. Setidaknya, Dira menanti kepastian secepatnya. Dia mulai merasa lelah menunggu, apalagi menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Reval lulus lebih dulu dari Dira. Setelah kembali ke tanah air, banyak perusahaan yang mengincarnya mengingat dia lulusan salah satu universitas terkemuka di Singapura. Meskipun Dira juga salah satu lulusan universitas negeri terbaik di Indonesia, tapi dia tetap merasa tidak seberuntung Reval.

Dalam kurun waktu kurang dari dua tahun pemuda itu sudah dipercaya memimpin salah satu perusahaan cabang besar di kota ini. Hubungan mereka terjalin sewajarnya selama ini, keduanya justru semakin akrab. Mungkin saat ini, Dira menduga Reval sengaja ingin membantu dirinya masuk ke perusahaan yang dipimpinnya. Dira berpikiran, Reval pasti akan meloloskannya dengan mudah.

"Sayang?" tegur seseorang dari celah pintu kamar Dira yang terbuka.

Dira menoleh lalu tersenyum melihat Avi masuk sambil membawa nampan berisi susu dan buah. "Makasi, Mam."

"Gimana? Udah ada yang ngasi kabar apa belum?" Avi melirik layar monitor Dira. Gadis itu menggeleng sebagai jawaban.

Avi tersenyum menenangkan, dia mengusap rambut putri kesayangannya, lalu berkata, "Harus sabar lagi berarti, tunggu aja."

"Iya tapi kalo nunggu terus lama-lama aku keburu dilamar, Mam." Dira menyahut asal dan tertawa lebar kemudian. Dia tidak memperhatikan ekspresi ibunya yang mendadak berubah misterius.

"Sayang...," Avi memasang wajah serius. Dira menghentikan tawanya perlahan, bertanya-tanya melalui tatapannya. "Apa sampe sekarang kamu masih nungguin Alva?"

Deg!

Dira bergeming, pandangannya menerawang ke depan. Seketika tubuhnya terasa membujur kaku. Dia bingung, hatinya juga memilih bungkam untuk saat ini. Dia benar-benar bimbang ketika mendengar nama itu lagi setelah sekian lama menghilang dari hidupnya.

Semenjak Alva pergi ke New York di hari itu, dia tidak pernah kembali, bahkan juga tidak menghubungi Dira sama sekali. Pemuda itu benar-benar hilang dari hidup Dira. Berbekal tekad di hatinya, Dira belum berani memasukkan orang lain lagi di dalam hatinya selama ini. Dia hanya merasa belum siap untuk jatuh dan akan kembali hancur untuk kedua kalinya.

Sekarang otak gadis itu justru menjadi blank dan lumpuh mendadak. Apa dirinya masih menunggu Alva yang sangat tidak pasti itu? Dira sendiri bahkan tidak tau jawaban dari pertanyaan sederhana itu. Mengingat rasanya ditinggalkan terlalu menyakitkan.

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang