-Tiga puluh lima-

4K 305 121
                                    

Sejak hari itu, hubungan antara Dira dan Alva benar-benar berubah drastis. Keduanya semakin jauh, sangat jarang terlihat bersama lagi. Mereka bertingkah seperti orang asing ketika di sekolah. Orang-orang di sekitar mereka merasa bingung sekaligus cemas, mencoba menerka apa yang salah diantara mereka.

Sekilas, Alva dan Dira memang sudah tidak sedekat dulu lagi. Tapi meskipun begitu, keduanya merasa komunikasi mereka masih baik-baik saja. Alva masih rutin mengirimi Dira kabar lewat pesan LINE dan terkadang mereka juga video call bersama ketika berada di rumah.

Jauh di dalam hatinya, Dira merasa ada kejanggalan pada diri Alva yang sekarang. Dia terlihat seperti sedang diawasi dan dibatasi oleh seseorang ketika berada di sekolah, sehingga pemuda itu menjadi sangat berhati-hati dalam segala tindak-tanduknya.

Terkadang Dira bertanya-tanya pada diri sendiri, sebenarnya apa latar belakang dari ini semua. Dira mengakui telah mengenalnya dengan baik tapi tetap saja dia merasa Alva masih terlalu misterius, cukup sulit membaca apa pemikiran dan bagaimana isi hatinya. Untuk saat ini mungkin Dira memilih tidak ingin ambil pusing, selama status Alva masih bersamanya.

Alva pikir, jika hanya saling berbalas pesan chat, tidak ada yang bisa mengawasi mereka termasuk Ken. Tidak bisa dipungkiri jika pemuda itu merasa sangat sulit berjauhan dari Dira, sehingga beginilah cara yang dia pilih untuk menyiasatinya. Dia hanya harus waspada ketika di sekolah. Beruntung secara tidak langsung, Dira seperti mendukungnya. Gadis itu tidak terlalu sering keluar kelas sehingga intensitas pertemuan mereka menjadi semakin kecil.

Sepulang sekolah, Dira berdiri tegak di depan toko buku langganannya sambil memeluk tas jinjing berisi berbagai macam novel baru dan beberapa buku penyokong ujian nasional. Sebelah tangannya masih memegang tongkat penyangga.

Hujan sedang menghujam kota ini dengan lebatnya. Hari sudah hampir sore, matahari yang tertutup mega mendung membuat suasana menjadi lebih gelap. Meskipun sudah tau perkiraan cuaca hari ini, gadis itu tidak menyangka akan terjebak hujan seperti sekarang. Dira tidak membawa payung, sehingga dia terpaksa berlindung di teras toko buku yang sempit itu, bersama beberapa orang yang lain.

Dira menggeser lock screen di ponselnya, chat room-nya dengan Alva beberapa saat lalu langsung terpampang jelas. Pemuda itu menulis, dirinya sedang dalam perjalanan menuju ke sini untuk menjemput Dira selepas bimbel. Kebetulan arahnya tidak berlawanan.

Beruntunglah, dengan kondisi kaki seperti ini Dira tidak perlu repot-repot naik taksi atau ojek online untuk sampai di rumahnya. Tadi ketika berangkat, dirinya diantar oleh Farhan yang harus kembali lagi ke sekolah untuk rapat. Dia tidak mungkin merepotkan Farhan lagi hanya untuk menjemputnya.

Dira menyapukan pandangannya ke sekeliling, jalanan di depannya benar-benar sepi dari kendaraan bermotor. Hal itu cukup wajar mengingat jalanan ini bukan ruas jalan utama. Dira menduga, jalan raya utama pasti sedang macet parah di jam seperti ini, dan Alva ikut terjebak di sana.

Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundaknya. Sontak Dira terlonjak kaget dan langsung menoleh ke arah samping kirinya. Alisnya berkerut mendapati ada seorang pemuda sudah berdiri tepat di sisinya. Dia juga memakai seragam putih abu-abu namun dengan topi dan jaket besar berwarna hitam.

"Hei! Lo Dira, kan?" tanyanya sambil menunjuk Dira. Keheranan gadis itu semakin bertambah mendengar pemuda itu menyebut nama akrabnya.

"I-iya. Lo siapa?"

Dia tersenyum lebar melihat ekspresi tegang Dira. Masih berusaha mempertahankan gestur santainya, perlahan pemuda itu menjulurkan tangan kanannya ke depan. "Gue Ken. Temennya Alva."

Mendengar nama Alva, Dira merasa ada sedikit kelegaan yang menyeruak di hatinya. Kerutan keningnya mengendur, matanya yang semula membesar perlahan stabil. Dira menyambut tangan pemuda itu. "Oh. Hai, Ken! Kebetulan banget bisa ketemu lo di sini."

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang