Jam istirahat sudah berdering lima belas menit yang lalu. Tapi seperti tidak peduli, siswa laki-laki XI IPA 1 masih asyik melanjutkan pertandingan basketnya sekaligus memperpanjang sendiri jam olahraga mereka. Jam istirahat yang seharusnya dimanfaatkan untuk ke kantin dan ganti baju, justru dengan enteng dikorbankan begitu saja.
Reval duduk di pinggir lapangan sambil mengusap keringatnya dengan handuk putih yang biasa dibawanya bertanding basket. Napasnya masih terengah-engah. Meskipun bukan pertandingan resmi, tapi perlawanan dari klub teman sekelasnya cukup membuat tenaganya terkuras.
Tiba-tiba Alva berlari kecil dari tengah lapangan dan ikut duduk di sebelah Reval. Pemuda itu juga terlihat sama lelahnya. Beberapa teman sekelas mereka mulai meninggalkan lapangan. Melihat Reval tidak membawa minum, akhirnya Alva menyodorkan botol air mineral yang digenggamnya.
Reval menoleh, akhirnya dia menerima uluran dari Alva itu. "Thanks, Al!" ujarnya sambil tersenyum kecil dan mulai menenggak isi dalam botol itu.
Alva hanya mengangguk pelan dan suasana menjadi kembali hening di antara mereka. Suara bola basket yang dari tadi terdengar yang memantul-mantul di lapangan berwarna cokelat ini, perlahan menjauh seiring bubarnya teman sekelas mereka menuju kelas untuk berganti baju.
Melihat lapangan basket mulai sepi --hanya menyisakan mereka berdua, akhirnya Alva ikut beranjak. Belum sempat kakinya melangkah menjauh, Reval yang masih di tempatnya seketika berusaha menahan Alva.
"Eh, tunggu, Al!" seru Reval yang secara otomatis menghentikan gerakan kaki Alva dan badan pemuda itu kini sudah berputar menghadapnya lagi.
Alva mengangkat alisnya. "Kenapa, Val?"
"Gue mau ngomong sama lo." Mendengar itu perlahan Alva mendekat lagi ke arah Reval. "Ini tentang Dira," lanjut Reval. Alva kini sudah berada di tempat semula, duduk di samping Reval.
"Ya?" Alva mencoba mempersilahkan Reval memaparkan maksudnya.
Reval menarik napasnya perlahan. "Selamat, ya, lo udah jadian sama Dira," ujar Reval masih mengupayakan memajang senyum di wajahnya. "Lo tau, kan? Dia itu sahabat terbaik gue."
"Thanks, Val! Beruntung banget gue punya dia. Ah, iya ... gue nggak akan lupa kalo lo sahabatnya," sahut Alva sambil membalas senyum Reval.
"Gue harap kali ini lo serius, Al."
Secara perlahan, senyuman Alva luntur mendengarnya. "Maksud lo?" tanyanya tidak mengerti.
Reval mengalihkan pandangannya sejenak. "Gue tau lo siapa di Karandha Wijaya dulu. Gue tau sebenernya HighBoss kaya apa. Intinya, gue nggak sepolos Dira, Al," ujarnya mengalir, Alva masih menatapnya dengan tajam.
"Asal lo tau, sekarang gue udah nggak di HighBoss lagi, Val," sanggah Alva masih bingung dengan maksud pembicaraan Reval.
Reval menarik napasnya lagi. Dia mengangguk kecil. "Iya, gue tau. Tapi bukan di situ masalahnya," kata Reval yang langsung membuat kening Alva berkerut mendengarnya. Tapi Alva tidak berusaha menyelanya dan lebih memilih menunggu pemuda itu melanjutkan penuturannya.
"Gue cuma mau ingetin lo, jangan pernah nyakitin atau main-main sama dia atau ... lo akan langsung berhadapan sama gue. Gue sahabatnya, dan gue akan sebisa mungkin ngelindungin dan jagain Dira walaupun dari jauh," ujar Reval tegas, tapi tetap terlihat tenang dan dapat mengendalikan emosi dengan baik. "Jadi, gue titip Dira ke lo. Jagain dia baik-baik!" Reval menutup kata-katanya dengan tersenyum dan menepuk bahu Alva pelan.
Kata-kata Reval langsung terekam di dalam kepala Alva secara utuh. Pikirannya langsung sibuk dengan hal rumit yang sulit dijabarkan. Pemuda itu masih bergeming di tempat sedangkan Reval mulai bangkit dan bersiap meninggalkan posisi semula.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Time
Teen FictionKata orang, cewek dan cowok itu nggak akan bisa menjalin hubungan persahabatan murni. Kenapa? Mungkin klise, sudah terlalu sering terbukti. Bukan hal aneh lagi jika ungkapan ini ternyata berlaku juga diantara Dira dan Reval. Tidak ada kisah cinta y...