-Dua puluh empat-

3.9K 323 63
                                    

"Neng Dira, itu udah ditungguin temennya di ruang tamu," kata Bi Mumun setelah dipersilahkan masuk ke kamar Dira.

Dira menolehkan kepalanya sekilas lalu mengangguk. Dia mematut dirinya lagi di depan cermin panjang yang menempel di lemarinya. "Aku kurang apa, Bi?" tanya Dira tanpa berpaling dari kaca, dia masih berputar-putar untuk mencari kekurangan dalam penampilannya kali ini.

Bi Mumun tersenyum, wanita itu lalu menggeleng. "Neng Dira itu udah cantik banget, percaya deh," sahutnya membuat hati Dira lega.

Dira ikut tersenyum lalu sejurus kemudian tangannya meraih sling bag yang sudah dia siapkan di atas meja rias dan bergegas turun menyusuri tangga sambil memakai flat shoes-nya, menuju ruang tamu.

"Sorry, ya, Al. Jadi nunggu lama," ujar Dira salah tingkah lalu memasang cengiran polosnya.

Kali ini Alva mengenakan kemeja berwarna cokelat krem terang dengan motif garis tipis yang lengannya digulung sampai ke siku. Tidak lupa jam tangan besar berwarna cokelat gelap melingkar di tangan kirinya. Awalnya pemuda itu berniat mengenakan tuxedo karena menganggap ini acara yang cukup penting, tapi ketika Dira mendengar idenya itu lewat telepon, gadis itu justru tergelak.

Dira langsung memberi tau Alva bahwa acara ini tidak se-formal bayangannya. Dira sendiri hanya memakai dress berwarna pastel yang sedikit berada di atas lutut dan berlengan pendek, dengan motif bunga kecil yang jarang-jarang. Sebagian rambut bagian atas gadis itu dijepit ke belakang, tapi masih menyisakan poni panjangnya yang biasa menyampir ke samping.

"Wajar, kok. Namanya cewek pasti dandannya lama," balasnya pengertian sambil terkekeh kecil.

Mereka langsung berjalan menuju mobil dan setelah Alva membukakan pintu untuk Dira, mobil putih berlambang empat lingkaran yang saling berkaitan itu melaju menembus kemacetan yang biasa terjadi di akhir pekan.

Selama perjalanan, Dira lebih banyak diam. Otaknya sibuk memikirkan kata-kata yang tepat untuk berbicara --tentang penolakan perjodohan ini, di depan keluarga besarnya nanti. Sedangkan Alva diam-diam lebih sering berpaling memperhatikan Dira yang melamun di sampingnya.

Dira mendesah pelan. Tinggal selangkah lagi usahanya menolak tradisi zaman Siti Nurbaya ini akan berhasil, dia tidak boleh gentar begitu saja. Apapun yang akan dihadapinya nanti, dia merasa sudah cukup mempersiapkan diri untuk menerimanya dan menghadapinya.

Tiba-tiba matanya tertarik melirik Alva di sampingnya, dia baru menyadari kalau sedari tadi pemuda itu mengamatinya. "Kenapa, Al?" tanyanya penasaran setelah melihat segurat senyum yang berbeda di wajah Alva.

"Nggak papa," sahutnya sambil lebih melebarkan senyumnya dan itu justru semakin membuat Dira merasa ada yang aneh dengan dirinya.

"Dandanan gue aneh, ya?" tebaknya lalu menangkupkan kedua tangannya di pipi. "Makeup gue norak?" Dira mulai khawatir dengan penampilannya sendiri.

Alva menggeleng-gelengkan kepalanya sambil terkekeh melihat reaksi Dira. "Enggak kok, serius."

"Terus lo ngetawain apa?"

"Gue nggak ngetawain apa-apa," sahut Alva masih terlihat santai, dia sengaja menjeda kalimatnya. "Gue senyum karena kagum aja. Lo cantik banget, Dir, dan gue nggak bohong," ujarnya yang seketika membuat Dira merasa ada ada yang bergejolak aneh di dalam perutnya. Jantungnya juga seketika berdegup kencang. Dira yakin pipinya sekarang sudah menampilkan semburat kemerahan.

Dira berusaha menutupi kegugupannya dengan terbahak pelan, dia benar-benar salah tingkah saat ini. "Gombal mulu kerjaan lo, Al."

Alva ikut terkekeh mengimbangi Dira. "Gue serius," balasnya menegaskan.

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang