Selama liburan akhir semester, Alva benar-benar konsisten berkunjung ke rumah Dira untuk merawatnya. Waktu tidak terasa bergulir begitu cepat. Pemuda itu tidak keberatan menemani Dira kemanapun, menuruti semua keinginannya dan selalu menjadi pendengar yang baik dalam hal remeh sekalipun.
Mereka terlihat semakin lengket, seperti tidak terpisahkan lagi karena saling melengkapi satu sama lain. Bahkan terkadang Farhan merasa iri melihat mereka dan segera menyingkir karena tau diri. Jika salah berbicara, Farhan justru jadi sasaran bulan-bulanan ejekan mereka berdua.
"Ck, jones, sih. Makanya sirik aja!" ejek Dira santai menanggapi Farhan yang mulai menggodanya dengan Alva. Tawa gadis itu berderai kemudian, dia puas berhasil membuat sepupunya itu terdiam dan cemberut sebal.
Pemuda itu juga menjadi lebih sering datang ke rumah Dira, membawa keceriaannya tersendiri. Farhan sengaja ingin berada di tengah Alva dan Dira, dengan alasan tidak baik jika mereka cuma berduaan.
Farhan memincingkan matanya ke arah Dira. Dia masih tidak berkutik, bahkan tidak berusaha membalas atau menanggapinya sekalipun. Sejurus kemudian pemuda itu pura-pura tidak mendengar, cuek dengan ungkapan Dira yang cukup terasa menyinggungnya itu.
Alva ikut terkekeh setelah melirik ekspresi yang disuguhkan Farhan, tangannya masih sibuk menyetel game PES 2016 yang akan dimainkan kedua pemuda itu. "Makanya, bro! Buruan tembak si Rani, gue jamin dia baik anaknya. Asik juga," timpal Alva.
"Rani siapa?" tanya Dira sedikit kebingungan. Dia menatap dua pemuda di depannya bergantian.
Farhan berdecak lalu melirik Alva. "Sejak kapan lo jadi sok tau gini, coba?" sangkalnya membentengi diri sendiri. Alva menggelengkan kepalanya sekilas, tawanya masih menguar. "Enggak, Dir---"
"Tetangga apartemen gue, Dir, yang waktu itu dia nyasar," sela Alva cepat sebelum Farhan selesai menanggapi pertanyaan Dira.
"Oooh!" seru Dira sumringah. Otaknya berhasil berputar ke momen saat dirinya meminta Farhan menjemputnya di apartemen Alva waktu itu. Dia beralih ke Farhan lagi lalu menaik-turunkan alisnya dan tersenyum penuh arti. "Berarti ada bagusnya gue typo waktu itu, ya," ungkapnya bangga.
"Ngaku aja, Han! Lo udah sering chatting-an sama dia, kan?" goda Alva yang hanya ditanggapi dengan ekspresi datar nan polos khas Farhan, seolah tidak tau apa-apa. "Gue juga baru nyadar, Dir. Pas kemarin Rani nanyain Farhan. Gue rasa itu kode."
Mendengar itu, sontak Farhan terperangah dan melotot ke arah Alva. "Serius dia nanyain gue?"
Alva dan Dira terdiam sejenak, menikmati ekspresi terkejut Farhan yang seperti tidak percaya itu. Tidak bisa dipungkiri, ada raut bahagia yang terpancar juga di sana. "Ciyeee!" tembak Dira dan Alva bersamaan, puas tertawa ceria.
Merasa terpojok, Farhan segera menyadarkan diri sendiri lalu menatap Dira dan Alva bergantian. Dia berdeham pelan, bagaimanapun caranya Farhan masih mencoba menyanggah, "Gue ... gue cuma kenalan doang, kok."
"Semua itu berawal dari kenalan, bro."
Dira langsung menganguk setuju. Masih merekahkan senyuman, gadis itu kemudian berujar, "Ya nggak papa, sih, Han. Gue mendukung, kok, biar lo beneran move on dari si Bella."
-.-.-.-.-
Seorang gadis terlihat duduk di kafe Manhattan sambil merenung menatap selembar kertas di tangannya. Dia mendesah pelan, melipat kertas itu lalu memasukkannya lagi ke dalam amplop bercap salah satu simbol rumah sakit terkenal di kota ini.
Hatinya gundah, dia duduk dengan gusar karena seseorang yang dinantinya belum juga menampakkan diri. Sejurus kemudian gadis itu melempar pandangannya ke arah pintu masuk kafe. Saat itu juga retinanya menangkap bayangan sosok pemuda yang telah ditunggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Time
Teen FictionKata orang, cewek dan cowok itu nggak akan bisa menjalin hubungan persahabatan murni. Kenapa? Mungkin klise, sudah terlalu sering terbukti. Bukan hal aneh lagi jika ungkapan ini ternyata berlaku juga diantara Dira dan Reval. Tidak ada kisah cinta y...