"Lo masih marah sama Dira?" tanya Ryan hati-hati sambil masih fokus memperhatikan setiap perubahan mimik muka Lisa.
Lisa menyesap Vanilla latte-nya perlahan lalu menarik napas. "Tadi gue nggak sadar sampe ngebentak dia," sahutnya tanpa membalas tatapan Ryan. Dia terlihat sangat menyesal dari nada bicaranya.
Ryan sedikit tersentak tidak percaya membayangkannya. "Lo harusnya marah sama gue aja, Lis. Dira nggak salah."
Lisa bergeming. Dia membuang pandangannya ke arah lain, ke sembarang tempat asal bukan ke wajah Ryan. Dia tidak bisa menatap pemuda itu sekarang, Lisa merasa hatinya masih nyeri setiap memperhatikan Ryan dari dekat.
"Gue bukannya mau belain Dira, ya. Tapi ... lo harus tau kalo dia terpaksa nggak ngasi tau lo karna...," Ryan menghela napas dan sengaja menggantung kalimatnya ketika otaknya sedang dipenuhi pertimbangan rumit.
"Karena apa?" desak Lisa.
"Misalnya lo udah tau dari awal kalo gue yang jadi calonnya Dira. Apa lo mau tetep dateng ke acara itu?"
Seketika Lisa tercenung mendengar pertanyaan Ryan. Dia masih menatap ke luar kafe dari jendela besar yang ada di sebelahnya. Tangannya masih bergerak memutar, mengaduk minumannya yang mulai mendingin.
Akhirnya gadis itu menggeleng pelan tanpa mengalihkan pandangan. "Enggak, gue nggak akan dateng ke sana," jawabnya yakin. "Dan gue juga bakal ngerelain lo sama Dira karena orang tua lo pasti udah merencanakan ini semua dengan matang. Gue nggak mau jadi penghalang," lanjut Lisa lirih.
Kalimat terakhir Lisa langsung dicerna oleh pikiran Ryan dan detik selanjutnya mata pemuda itu sedikit melebar karenanya. Ryan tidak menyangka Lisa bisa menyerah secepat ini. Pemuda itu buru-buru menstabilkan perasaannya lagi dan tetap berusaha terlihat tenang.
"Ada beberapa hal yang harus lo percaya dan lo pahami pake kepala dingin, Lis...," ujar Ryan pelan. Dia menghela napas lagi, berharap setelah ini Lisa dapat memahaminya. Setidaknya, semuanya akan berjalan baik-baik saja seperti semula. Gadis itu akhirnya menatap Ryan.
"Pertama, lo harus percaya kalo gue sama Dira udah nolak perjodohan itu dari sebelum kita saling tau. Jadi, lo bukan penghalang sama sekali, Lis. Kedua, Dira udah menduga lo bakal nolak dateng kalo udah tau duluan. Makanya dia nggak berani cerita sebelumnya. Ketiga, kalo lo nolak dateng maka perjodohan ini nggak jadi batal dan Dira akan selamanya merasa bersalah sama lo."
Lisa membeku sejenak. Ada sesuatu yang tidak kasat mata terasa menggebrak hatinya. Dia merasa bersalah. Lisa sadar, dia sebenarnya hanya marah kepada dirinya sendiri karena merasa terlalu bodoh dan menjadi penghalang. Dia kecewa dan merasa posisinya sangat sulit. Gadis itu akhirnya melampiaskan kemarahannya kepada Dira.
"Intinya, dia ngelakuin ini buat kebaikan kita semua, Lis. Biar nggak ada yang tersakiti nantinya, jadi lo jangan salah paham dan malah nyalahin diri lo sendiri," Ryan menutup penjelasan panjangnya dengan lengkungan menawan yang terbentuk di bibirnya.
Lisa mengusap wajahnya sekilas. "Gue terlalu emosi waktu itu, makanya gue nggak bisa mikir jernih." Gadis itu menghela napas sambil masih menerawang memikirkan Dira.
"Gue waktu itu kecewa banget sama Dira karena dia nggak cerita lengkap. Ditambah, lo tau sendiri, kan? Gue paling nggak suka jadi penghalang. Makanya itu gue sebenernya marah sama diri gue sendiri tapi Dira sama lo malah kena imbasnya," ujar Lisa masih merasa bersalah.
Tangan Ryan terulur, menggapai tangan Lisa dan menggenggamnya untuk menyalurkan kekuatan. "Gue ngerti, kok," sahutnya sambil masih tersenyum. Lisa melirik ke arah tangannya yang sudah bertautan dengan Ryan di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Time
Fiksi RemajaKata orang, cewek dan cowok itu nggak akan bisa menjalin hubungan persahabatan murni. Kenapa? Mungkin klise, sudah terlalu sering terbukti. Bukan hal aneh lagi jika ungkapan ini ternyata berlaku juga diantara Dira dan Reval. Tidak ada kisah cinta y...