-Dua puluh sembilan-

3.8K 333 84
                                    

Dira cukup bergidik melihat ke arah jajaran pohon yang tinggi menjulang sampai daun rimbunnya menutupi sebagian besar sinar matahari. Hutan ini benar-benar masih asli, suasananya sunyi hanya terdengar suara serangga yang sesekali saling bersahutan dan langkah kaki mereka ketika menginjak dedaunan kering.

Reno yang sedari tadi berjalan di depan seketika berhenti dan memutar badan menghadap para anggotanya yang berjumlah empat orang, jadi total ada lima orang dengan dirinya sendiri. "Gue rasa, kita lebih baik berpencar, deh," usulnya sambil masih terlihat berpikir keras.

Misi dalam ekspedisi kali ini yaitu, mendata jumlah flora tertentu yang jenisnya telah ditentukan berbeda-beda setiap kelompok, sekaligus mencatat bagaimana kondisinya. Hasil dari ekspedisi ini akan diserahkan kepada Kementrian Perhutanan yang mengelola hutan ini. Selanjutnya data itu akan digunakan sebagai indikator keberhasilan konservasi hutan di Indonesia.

"Bener juga, biar cepet selesai dan kita bisa balik duluan," sahut Vian.

Dira dan dua teman perempuannya yang lain --Mella dan Gita, hanya bisa menurut. Kebetulan Dira berbeda kelas dengan mereka berdua. Mella sekelas dengan Reval sedangkan Gita satu kelas dengan Bella di XI IPA 3. Tapi sepanjang yang dia ketahui, mereka cukup pendiam sehingga tidak akan banyak protes.

Akhirnya Dira berjalan sendiri membelah semak belukar dengan hanya mengandalkan instingnya. Dia tidak terbiasa berada di alam bebas, tapi Dira berharap kali ini alam bisa bersahabat dengannya. Dia sedikit cemas mengingat Farhan tadi sempat memberinya peringatan, di hutan ini banyak tersebar anjing liar.

Jika harus terpaksa memilih, Dira lebih baik bertemu singa atau harimau daripada anjing liar plus galak yang terpapar virus rabies. Alasannya karena pada dasarnya harimau atau singa memang hewan buas, jadi tidak mengherankan lagi jika mereka agresif. Tapi, tetap saja Dira tidak berharap bertemu keduanya sekarang. Dia mencoba terfokus lagi pada tugasnya sampai telinganya menangkap suara aneh.

Mendadak tubuh Dira menegang setelah menyadari itu suara isakan seorang anak kecil. Sontak matanya perlahan menyisir sekitar, tapi dia tidak menemukan ada orang asing di dekatnya. Dira membuang napasnya, berusaha tenang dan kemudian dia memutuskan untuk menghampiri Mella yang cukup terjangkau dari posisinya sekarang.

"Lo denger tangisan anak kecil, nggak?" tanya Dira pelan yang langsung membuat mata gadis itu melebar sempurna.

Mella menatapnya tidak percaya sambil bergidik ngeri. "Lo jangan ngaco, deh, Dir. Mana ada anak kecil di hutan gini?" ujar Mella mencoba berpikir logis. Dia melanjutkan tugasnya lagi, berpaling dari Dira yang masih mencerna ucapan Mella.

Logika Dira cukup setuju dan tidak dipungkiri dia membenarkan itu. Dia juga sempat berpikiran sama sebelum memutuskan bertanya pada Mella. Tapi entah kenapa kali ini hatinya seperti memberontak pikirannya, ada semacam konflik yang sedang tidak selaras di dalam otaknya. Dia merasa anak kecil itu membutuhkan pertolongannya.

Akhirnya Dira kembali ke posisi semula. Dia menjadi semakin cemas dan gusar ketika suara itu terdengar lagi, bahkan semakin jelas. Dahinya masih berkerut. Dira sempat berpikir untuk memberi tau Reno perihal ini, tapi melihat posisi pemuda itu jauh di sana, gadis itu mengurungkan niatnya. Mungkin Reno dan yang lain juga tidak akan mempercayainya sama seperti Mella.

Kayanya gue harus mastiin sendiri.

Dengan yakin, Dira melangkahkan kakinya yang terbungkus sepatu nike sport berwarna biru tosca-putih itu untuk mendekati sumber suara. Dia berjalan memasuki semak-semak yang cukup rimbun.

Gadis itu hanya mengandalkan indera pendengarannya sebagai petunjuk utama. Ada ketakutan yang sempat melanda hatinya. Bagaimana jika ternyata sosok yang menangis lirih itu ternyata tidak kasatmata?

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang