-Lima belas-

4.6K 416 101
                                    

Dira berjalan berdampingan dengan Alva menyusuri koridor sekolah yang sepi menuju parkiran. Entah kenapa dia merasa cukup gugup. Ini pertama kalinya dia pulang dengan seorang pemuda selain Farhan atau Reval. Kali ini dia memang tidak bisa menolaknya dan untuk kesekian kalinya, dia merepotkan Alva lagi.

Akhirnya mobil berwarna putih susu itu melesat meninggalkan parkiran sekolah dan mulai menerobos kemacetan yang menyambut di setiap ruas jalan. Sesekali Dira melirik Alva yang masih fokus di balik kemudinya, otaknya terasa buntu untuk memecah keheningan yang tercipta.

"Rumah lo satu komplek sama Farhan, kan?" tanya Alva akhirnya membuka pembicaraan.

Dira mengangguk pelan. "Iya, lo tau?"

"Kayanya gue pernah ngelewatin komplek itu," sahut Alva berusaha tidak membuat Dira ragu.

"Emang nggak searah sama rumah lo, ya?" Dira menoleh dan menatap Alva yang masih memandang lurus kemacetan di depannya.

"Arah rumah gue bisa lewat mana aja, cuma gue jarang lewat rute deket komplek itu." Alva tersenyum sekilas sedangkan Dira hanya ber-oh ria.

Keheningan kembali menyergap. Mereka belum lama saling mengenal, suasananya masih terasa terlalu canggung. Mobil Alva merayap di tengah kemacetan, padahal Dira tau ada rute lain yang bisa dipilih andai saja dia tidak lupa bilang dari awal.

Tiba-tiba layar ponsel Dira menyala dan menampilkan sebuah notifikasi LINE dari official account salah satu penulis novel favoritnya. Dia mengernyit dan detik kemudian menepuk dahinya seiring otaknya mengingat sebuah rencana penting yang telah disusun Dira sebelumnya.

"Ah, gue baru inget!" spontan Dira membuka suara dan langsung mendapat perhatian dari Alva.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan?"

Dira mengusap dahinya dan merutuki ingatannya sendiri. "Nggak ... nggak ada yang ketinggalan. Gue baru inget, gue mau ke toko buku dulu, Al. Nanti lo turunin gue di depan jalan itu aja, ya?" kata Dira lalu menuding pertigaan jalan yang masih sekitar 30 meter jauhnya.

Alva mengangkat alisnya. "Oh, gitu. Ya udah, nggak papa sekalian gue anterin aja, Dir."

"Gue sendiri aja, Al. Beneran, deh, nggak papa. Nanti lo baliknya kesorean lagi," sanggah Dira halus sambil masih menatap kemacetan dengan cemas.

Alva menoleh dan menarik kedua sudut bibirnya. "Justru gue yang nggak masalah kalo balik sore, Dir. Lagian tadi Farhan bilang lo harus pulang sama gue, sampe rumah, kan?" Dia menjeda kalimatnya. "Sebenernya gue juga ada rencana ke toko buku hari ini."

Dira mengernyit. "Mau ke toko buku juga?" katanya heran dan menduga ini cuma alasan Alva agar Dira tidak menolak lagi.

"Novel inceran gue udah terbit, tapi gue belum nyempetin ke toko buku. Lagian sebagai anak baru, gue udah keabisan buku paket di perpus sekolah jadi gue harus beli juga, deh. Pas banget bisa sekalian aja, kan?"

Dira menghela napasnya pelan. Dia menerima alasan Alva yang cukup masuk akal itu. "Ya udah, deh, kalo lo nggak keberatan," ujarnya sambil tersenyum lega. "Gue nggak nyangka, deh, lo juga suka baca novel."

Alva terkekeh mendengarnya. "Nggak sering banget juga, sih. Koleksi novel gue juga nggak seberapa," katanya berusaha merendah. "Kalo boleh tau, emangnya lo lagi mau nyari buku apa?"

"Novel, sih, judulnya Once Upon A Time gue suka seri yang pertama dan penulisnya nerbitin lanjutannya," jelas Dira sambil tersenyum tipis.

"Wah, jangan bilang lo termasuk fans-nya pangeran Alva?" tebak Alva yakin.

Dira melongo tidak percaya dan matanya berbinar. "Lo tau ceritanya?"

Seketika mereka terkekeh bersama. Dira masih tidak menyangka pemuda di depannya ini benar-benar memiliki selera yang sama sepertinya. Baru kali ini, Dira menemukan partner yang mengerti tentang bacaannya.

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang