-Tujuh belas-

4.3K 418 150
                                    

Alva merebahkan tubuhnya ke kasur sambil melempar kunci mobil dan tasnya sembarangan. Dia ingin sejenak memanjakan perutnya yang kenyang setelah baru saja pulang dari rumah Dira.

Keberutungan menimpanya hari ini, kebetulan dia mendapat kesempatan makan bersama orang tua Dira selepas pulang sekolah. Meskipun tergolong orang baru, tapi ayah dan ibu Dira tetap menyambutnya dengan hangat. Kecanggungan sempat menyergap Alva, dia juga sempat menolak mengganggu acara makan sore keluarga itu tapi Dira berhasil membuatnya tidak punya alasan lain.

Setelah sekian lama, akhirnya Alva bisa menyicipi masakan rumahan yang lezat buatan ibunya Dira. Selama ini, tinggal berjauhan dengan ibunya sendiri membuat Alva tidak punya pilihan lain kecuali mandiri, termasuk urusan makanan harian.

Ting tong!

Suara bel apartemen itu menyita perhatian Alva sejenak. Dia menghela napas dan sedikit heran mengingat dirinya jarang sekali menerima tamu belakangan ini. Akhirnya dengan langkah gontai, dia mencapai pintu apartemennya untuk melihat siapa yang datang.

"Hai, kak Alva!" seru seseorang itu dengan senyum ceria ketika Alva membuka pintu.

"Eh, Rani?" kata Alva setelah butuh beberapa saat mencerna siapa yang datang. Gadis itu langsung masuk ke apartemen Alva tanpa dipersilahkan. "Gue kira siapa...," lanjutnya lagi, tidak menduga bahwa Rani yang akan datang.

Gadis itu mengamati sekitar ruang tamu dengan TV yang menyala lalu duduk di sofa. "Tumben jam segini lo udah pulang," katanya lalu beralih menatap Alva yang mengekor di belakangnya.

"Hmm," sahut Alva singkat. Pandangannya langsung berpindah ke arah paper bag yang baru disadarinya, padahal sudah ditenteng Rani sejak tadi. "Itu ... apaan?" tanyanya penasaran sambil menunjuk dengan dagunya.

Rani meletakkan paper bag berwarna biru tua itu di meja depan sofa. "Oh, iya! Gue ke sini memang mau ngasi ini," ujarnya lalu menjeda kalimatnya sejenak. "Itu kumpulan cokelat dari para penggemar lo di Karandha Wijaya, kak."

Alva mengernyit sampai alis tebalnya hampir tertaut. "Para penggemar gue?" tanyanya tidak yakin dan mengira ini semua hanya gurauan dari Rani.

"Iya, para fans lo," kata Rani lagi dengan yakin sekaligus memasang raut serius sehingga memecah anggapan Alva.

Alva menggelengkan kepalanya lalu terkekeh pelan. Dia berdecak tidak habis pikir. "Ya ampun, ada-ada aja." Rasa penasaran yang menyelinap di dalam kepalanya langsung membuat tangannya bergerak membuka bungkusan paper bag itu.

"Lo tau nggak, sih, kak? Kepindahan lo itu menghebohkan banget, bahkan berita tentang Pak Dindin --guru Fisika legendaris plus killer, yang tiba-tiba pensiun, juga masih kalah," ujar Rani bersemangat memaparkan ceritanya. "Dan beberapa temen gue sempet ngira itu cuma hoax."

Alva ikut membayangkan suasana heboh di sekolah lamanya itu dan kemudian tertawa mendengarnya. "Lo sendiri nggak kaget gue pindah?"

Rani meliriknya sekilas. "Gue udah nebak, lo pasti lagi bermasalah sama HighBoss. Dan setelah tau lo pindah ke Gardatama, gue rasa lo bakal baik-baik aja di sana. Jadi gue nggak kaget," sahut Rani santai dengan tangan masih bersedekap di dada.

Alva tersenyum kecil. "Iya, gue emang baik-baik aja, kok. Bahkan lebih baik dari sebelumnya," timpal Alva yakin.

"Semenjak lo pindah, gue ngerasa Karandha Wijaya kaya kehilangan sesuatu...," ujar Rani sengaja menggantung kalimatnya sebentar. Dia menghela napas. "HighBoss nggak kaya dulu lagi, apalagi si Ken jadi sok menguasai banget!" cibir Rani sedikit sinis ketika menyebutkan nama salah satu teman Alva itu.

"Lama-lama juga nanti terbiasa. Lagian, walaupun gue nggak pindah ... suatu saat gue juga bakalan lulus dari sana, kan? Jadi sama aja," kata Alva santai lalu menyambar remote TV dan mengganti channel-nya. Rani mengangguk-angguk setuju. "Eh, Ken kenapa?" Alva tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya sesuatu tentang temannya yang satu itu.

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang