Matahari bersinar dengan teriknya di atas ubun-ubun. Seorang pemuda dengan kaca mata hitam terlihat berjalan menyusuri tempat yang penuh rerumputan ini. Kedamaian seketika mendominasi suasana. Tangan kanannya menggenggam se-bucket bunga krisan kuning. Bunga kesukaan seseorang yang sekaligus melambangkan permohonan maaf.
Kakinya berhenti melangkah tepat di sebelah pohon rindang. Dia bersimpuh lalu tersenyum tipis. Perlahan tangannya bergerak menyentuh batu berarti di depannya. Nama Erina Larasati terukir disana.
"Erin, lo kangen sama gue nggak?" ujarnya masih menatap nisan itu dengan sendu. "Walaupun lo nggak kangen sama gue, tapi lo harus tau ... gue kangen banget sama lo," tambahnya lagi sambil tersenyum getir.
Suasana hening menyergapnya. Pemuda itu berusaha sekuat tenaga menahan air matanya yang terus mendesak keluar. Bibirnya masih diusahakan melengkung membentuk senyuman sederhana. Dia khawatir Erina bisa melihatnya kali ini. Dan gadis itu pasti tidak ingin melihatnya sedih lagi, apalagi menangis.
"Lo harus maafin gue, Rin," katanya lagi terdengar meminta meskipun masih disambut keheningan. "Gue ... akan memperbaiki semuanya. Gue janji sama lo," lirihnya putus asa.
Jangan pernah janjiin sesuatu yang nggak bisa kamu tepati, Alva. --Suara lembut itu seperti terngiang jelas di otaknya. Potongan memori masa lalu masih terekam jelas di benaknya. Hatinya semakin perih ketika sadar bahwa kenyataannya pemilik suara itu hanya bisa dikenang sekarang.
Alva seperti tersadar. "Gue akan buktiin sama lo, Rin. Walaupun gue nggak bisa liat lo lagi, tapi lo bisa liat gue, kan?" Kali ini senyum keyakinan tercetak jelas di bibirnya. Dia berusaha terlihat tegar meskipun hatinya masih berserakan.
Dia meletakkan bucket bunga di tangannya tepat di depan nisan lalu mengusapnya lagi. Berkali-kali dia menarik napas untuk menstabilkan perasaannya yang campur aduk setiap mengingat segala hal tentang gadis yang telah terbaring damai di tempat ini.
"Kali ini gue pasti bisa memperbaiki semuanya, Rin. Lo harus percaya sama gue."
-.-.-.-.-
Dengan langkah mantap, pemuda bermanik cokelat itu berjalan melewati lorong yang remang cahaya. Tangannya bersiap mendorong kenop pintu yang ada di depannya. Dia menghela napas berat. Malam ini dia harus menyelesaikan semuanya, hanya itu yang berkecamuk di pikirannya saat ini.
"Sorry, gue telat...," katanya mengarah kepada enam orang yang sudah menunggunya dan duduk di sofa ruangan ini. Semua mata tertuju padanya. Pandangan mereka tajam, seperti sudah mulai mendeteksi apa yang akan dilakukan Alva.
"Siapa target kita selanjutnya?" kata salah satu pemuda berambut mohawk tidak sabar. Dia berusaha memecah suasana dingin yang tercipta sejak kedatangan Alva.
"Gue ke sini bukan mau ngomongin soal itu!" sanggahnya tegas. Dia menarik napas lagi, menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk sekalipun. "Gue mau keluar dari HighBoss!" ungkapnya jelas.
Semua yang ada di ruangan terperangah mendengarnya. Mereka terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing. Seketika suasana hening, hanya hembusan napas lega karna akhirnya dia mampu mengatakan semuanya. Pemuda berambut mohawk paling bereaksi serius. Dia tersentak tidak percaya.
"Lo nggak serius kan, Al? You're a captain! Alva, lo pendiri HighBoss...," ujar pemuda berambut mohawk tidak habis pikir, dia berusaha menyadarkan Alva yang sedari tadi menunduk.
"Ini keputusan gue. HighBoss itu kesalahan gue yang nggak bisa gue tebus. Bukannya ini yang kalian mau selama ini? Kalian bisa ngambil semua julukan gue," sahutnya tidak kalah tegas. Mata cokelatnya menyulut tajam. Dia menyeringai sambil menatap enam orang yang masih heran memandangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Time
Teen FictionKata orang, cewek dan cowok itu nggak akan bisa menjalin hubungan persahabatan murni. Kenapa? Mungkin klise, sudah terlalu sering terbukti. Bukan hal aneh lagi jika ungkapan ini ternyata berlaku juga diantara Dira dan Reval. Tidak ada kisah cinta y...