Alva mendengar sayup-sayup teriakan Dira. Seketika dia panik dan berbalik ke tempat awal, tubuhnya menegang ketika tidak menemukan Dira di sana. Di dalam hatinya, tidak henti-hentinya dia terus merapalkan nama gadis itu, sekaligus berharap tidak ada hal buruk yang terjadi.
Suara gonggongan anjing yang menyolok indera pendengaran Alva cukup membantu menuntun langkahnya menghampiri sebuah jurang. Anjing itu hanya berhenti sampai pinggir jurang dan terus menyalak. Ketika melihat Alva datang, hewan paling menakutkan bagi Dira itu akhirnya berlari pergi dan semakin menjauh.
"Dira...," lirihnya cemas.
Alva termenung sejenak menerawang jurang dengan kedalaman 15 meter itu. Seketika pikirannya kosong, ekspresinya datar. Dia benar-benar takut, khawatir dan cemas jika terjadi sesuatu yang buruk pada Dira di dalam sana. Kemiringan jurang itu hampir 60 derajat. Dasarnya dipenuhi rumput dan semak-semak sehingga Alva tidak bisa melihat Dira.
Tiba-tiba pandangan Alva tersita pada botol minum Dira yang tersangkut di pinggir jurang. Pemuda itu sedikit membulatkan matanya dan mengambil benda itu. Alva tau, gadis itu phobia anjing. Sebelumnya dia juga pernah terluka karena ketakutan berhadapan dengan anjing. Dia menarik napas, merasa sial karena firasat buruk yang dirasakan Alva sebelum Dira memulai ekpedisi tadi benar-benar terjadi.
"Al-va," rintih Dira hampir tidak terdengar, melalui sudut matanya mengalir air yang sedari tadi tidak terbendung lagi. Gadis itu merasakan sakit dan perih di sekujur tubuhnya terutama kaki kanan dan kepala bagian belakangnya yang sempat terbentur batu besar.
Mulai sekarang, Alva akan percaya pada instingnya sendiri. Pemuda itu langsung menurunkan tas di punggungnya. Tanpa berpikir lagi, dia langsung bergegas mengeluarkan beberapa perlengkapan termasuk tali untuk memanjat yang selalu tersedia di ranselnya.
Pemuda bermata cokelat itu terbiasa menjelajah alam. Tidak ada waktu lagi untuk panik baginya meskipun napasnya masih memburu, yang menjadi fokus utamanya sekarang adalah mengeluarkan Dira dari jurang itu dengan selamat. Alva mengikat beberapa talinya pada pohon yang dirasa cukup kokoh di sekitar bibir jurang.
Tidak lupa dia melilitkan ujung tali yang lain pada tubuhnya dengan berbagai ikatan simpul yang telah dikuasainya dengan baik selama ini. Pengalamannya sebagai wall climber dua tahun terakhir, cukup berguna membantunya untuk bergerak cepat menyiapkan peralatan sederhana yang dapat memastikan keselamatannya dalam kondisi darurat semacam ini.
Alva berniat menuruni jurang itu dengan teknik rappelling. Kebetulan dia pernah mengikuti pelatihan ini yang diadakan ekskul pecinta alam di Karandha Wijaya dulu. Selain itu, dia juga rajin dan rutin berlatih memanjat dengan Ryan di arena sport center. Setelah cukup yakin dengan tali-temali buatannya, perlahan dia menjajakkan kaki kokohnya di tebing jurang sambil terus melangkah ke bawah.
"Gue mohon bertahan, Dir. Gue dateng," gumamnya masih khawatir sambil terus berkonsentrasi menyeimbangkan antara pegangan tangannya pada tali dan pijakannya.
Dira hampir kehilangan seluruh kesadarannya. Ada darah mengalir deras dari belakang kepalanya yang terasa pusing luar biasa itu. Pandangannya mulai kabur, samar-samar dia masih menangkap bayangan Alva datang menyusulnya dengan banyak tali di sekujur tubuh gagah pemuda itu.
"Dir?" Alva mengangkat kepala Dira dan menopangnya sementara, seketika darah segar tercetak di salah satu telapak tangannya.
Tangan kiri Alva yang bebas, dia gerakkan untuk mengusap wajah Dira pelan. Ada beberapa luka goresan yang tertoreh di sana. Kaki kanan gadis itu sempat tergores pada ranting pohon yang tajam sampai celana jeans panjangnya terkoyak, sehingga kulit dekat tulang kering Dira sobek lebar dan mengeluarkan darah cukup banyak juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Second Time
Fiksi RemajaKata orang, cewek dan cowok itu nggak akan bisa menjalin hubungan persahabatan murni. Kenapa? Mungkin klise, sudah terlalu sering terbukti. Bukan hal aneh lagi jika ungkapan ini ternyata berlaku juga diantara Dira dan Reval. Tidak ada kisah cinta y...