-Dua puluh lima-

3.6K 335 56
                                    

Mendengar kata-kata itu, sontak Dira mengangkat kepalanya dan bertumpu fokus pada seseorang yang baru datang itu. Matanya menyipit, dia menggerutu dalam hati kenapa orang itu harus datang disaat seperti ini.

"Anak tujuh belas tahun itu nggak ngerti apa-apa tentang pilihan," ulangnya lagi, semakin menegaskan bahwa dia sangat kontra dengan kata-kata yang dilontarkan Ryan tadi.

Dira menerawang ke arah Ryan, pemuda itu hanya menunduk mendengarnya. Dia tidak berniat membalas pandangan dan mengangkat kepala, apalagi sampai menyanggahnya. Sama seperti Dira, seketika harapannya untuk berhasil menggagalkan perjodohan ini pupus begitu saja.

Avi menghela napas, tersenyum tenang ketika memandang kakaknya itu dan kemudian berujar, "Iya, memang. Tapi kita juga nggak bisa maksa---"

"Ini itu udah jadi tradisi. Buktinya kita juga dulu dijodohin sampai sekarang berhasil aja, kan?" sela wanita itu masih tidak mau kalah. Dia masih merasa menjadi yang paling benar karena lebih dulu berpengalaman menangani anaknya yang juga menolak dijodohkan.

Dira semakin harap-harap cemas setelah mamanya diam mendengar ucapan itu. Avi tampak berpikir lalu menoleh ke arah Hendra yang juga terdiam seribu bahasa. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing dengan ekspresi datar, sulit diprediksi oleh Dira.

"Sarah...," lerai nenek Dira menyadari nada bicara anak sulungnya yang mulai menggebu-gebu. Wanita itu akhirnya pasrah dan meloloskan hembusan napas untuk membuat dirinya lebih tenang.

"Saya cuma mau ngasi masukan ke mereka, Bun...," sanggahnya halus lalu masih mengedarkan pandangan terutama ke arah Avi, adiknya. "Dulu Rizal, kakaknya Nindya juga nolak tapi saya bisa yakinin dia biar tetap menjalankan tradisi ini," jelasnya sedikit bercerita flashback.

Gue sama kak Rizal itu beda ceritanya, Tante --gerutu Dira yang sedikit tidak habis pikir dengan kakak dari mamanya itu. Sebenernya Dira merasa ingin menyemburkan pemikiran itu saat ini juga jika saja dia tidak ingat reputasi kedua orang tuanya sedang dipertaruhkan.

Dira tau, Sarah memang memiliki watak yang keras. Dia orang yang tegas dan jelas. Tidak suka bertele-tele dan orang yang baru mengenalnya pasti akan berpendapat dia galak dan sinis. Bahkan sampai sekarang, Dira masih cukup merasa takut dan segan dengan tantenya yang satu itu.

Kemunculannya disaat-saat seperti ini sangat tidak terduga sebelumnya. Dira benar-benar tidak menyangka tantenya itu akan ikut bergabung. Dira masih memilih diam dan tidak menyanggah karena momen ini sama sekali belum diperhitungkan olehnya.

"Coba kali ini biar mereka sendiri yang menentukan nasib anak mereka," ujar Nenek Dira menenangkan. "Ini memang tradisi keluarga, tapi tradisi ini diadakan bukan untuk menambah beban kepada generasi selanjutnya," lanjut wanita yang berusia 65 tahun itu.

Kakek Dira yang masih terlihat gagah meskipun terpaut lima tahun lebihnya dari umur nenek Dira ikut menimpal, "Untuk sekarang mungkin kalian bisa fokus dulu sama pendidikan mereka, jangan dipaksakan kalo ini malah membuat mereka semakin tertekan."

Nenek Dira menyetujui perkataan suaminya. "Cantika sama Ravy ini, kan, masih tujuh belas tahun. Perjalanan mereka masih panjang," saran wanita tua itu lagi lalu tersenyum sekilas ke arah Dira dan Ryan.

"Baiklah kalau begitu," sahut Avi yang langsung membuat Dira berharap mamanya memutuskan yang terbaik, sesuai keinginannya. "Saya dan Hendra memutuskan untuk membatalkan perjodohan ini, demi kebaikan anak kami dan tentu saja untuk kebaikan putra keluarga Handoko juga. Bagaimana?"

Gina terlihat mengangguk kepala setuju. Handoko menghela napasnya tenang. "Baiklah. Saya dan Gina juga setuju, mungkin memang sebaiknya perjodohan ini dibatalkan agar Dira dan Ryan bisa bebas memilih dan tidak tertekan lagi," jawab Handoko ditutup dengan senyuman lega dan akhirnya dia menjabat tangan Hendra.

[✓] Second TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang