[1]

1.3M 48.3K 625
                                    

Mengenal tanpa dasar berkenalan
Jika memang takdir, why not?

•••

Didalam ruangan mewah itu, terdapat dua keluarga besar yang saling berbincang-bincang. Tapi berbeda dengan seorang gadis yang terus diam dan tertunduk untuk mengalihkan tatapan tajam dari pria yang duduk tak jauh darinya.

"Arka, Karin, kalian sudah resmi menikah dan ini menjadi rumah kalian berdua." ucap Rini—Mama Arka—dengan senyum lebar yang tercetak diwajahnya.

"Mama ingin kalian cepat-cepat punya momongan." timpal Sarah—Mama Karin—menambahi.

Gadis bernama lengkap Karin Santika yang kini sudahh menyandang nama keluarga 'Hardikusuma' itu akhirnya mengadahkan wajahnya saat mendengar kata 'momongan' dari mulut Rini, Mama mertuanya.

"Ma, Karin kan masih SMA." sungut Karin mengingat pernikahan ini hanyalah perjodohan tanpa dasar cinta dan lagi dia masih kelas tiga SMA.

Entah nasib sial apa yang membuatnya harus menikah diusia yang masih sangat muda.

"Kan tinggal satu tahun lagi Sayang, iya 'kan, Pa?" Bela Sarah melirik Agung—Ayah Karin.

Agung mengangguk, diikuti Fredi—Ayah Arka.

"Ya sudah, ini udah larut. Kami pamit pulang ya Nak, bersenang-senanglah." Rini melirik jam tangannya, kemudian bangkit dari duduknya.

"Mama sama Papa pulang. Kamu jangan cengeng, sekarang kamu bukan tanggung jawab kami lagi, jadi istri yang baik." kata Sarah memeluk Putrinya itu erat, seakan tak rela melepaskan tanggung jawab akan anak gadisnya yang sudah menjadi milik orang lain itu.

"Ma.." gumam Karin kecil, menatap Mamanya itu dengan tatapan memohon.

"Ya sudah kami pulang. Baik-baik ya.  Kamu Arka, jangan egois kalo udah jadi suami." oceh Rini menjitak kepala Putranya itu.

"Ah, Mama!" Gerutu Arka meringis kesakitan.

Ruang tamu yang luas itu kembali sunyi, diam dan tentram begitu Fredi, Rinj, Sarah dan Agung pergi. Hanya ada dua manusia yang berdiri canggung tanpa ada pembicaraan seperti yang biasanya dilakukan pengantin baru. Bagaimaan bisa berbincang jika mereka baru mengenal seminggu, karena kesibukan masing-masing mereka tak bisa mengenal secara mendalam. Selain nama dan keluarga, semuanya masih misteri antara satu sama lain.

"Kak Arka, saya mandi dulu." Suara lembut Karin tiba-tiba terdengar.  Arka hanya menjawabnya dengan anggukan meskipun dia tak yakin jika gadis itu melihatnya mengangguk karena sejak tadi dia selalu menunduk tanpa sekalipun menatap matanya.

Karin berjalan menuju kamar dilantai dua diikuti Arka dibelakang. Mereka berdua syok hebat saat Rini mengatakan jika rumah sebesar itu hanya memiliki satu kamar tidur, orang tua mereka sengaja karena mereka tahu jika disana ada dua kamar, maka Arka dan Karin pasti tidur dikamar yang terpisah.

Sesampai dikamar, Arka langsung melepaskan dasi yang masih setia berada dilehernya lalu menghempaskan tubuh kekarnya di ranjang. Sesekali diliriknya gadis yang sudah resmi menjadi istrinya itu tampak kesulitan melepaskan gaun pernikahan yang terlihat indah ditubuh rampingnya.

"Enggak perlu dibantu?" Tanya Arka menawarkan bantuan.

Karin menggeleng. Arka hanya bisa diam tak tau harus bicara apa lagi. Dia sebenarnya tidak punya rasa benci pada Karin, hanya saja dia tidak suka akan perjodohan gila itu. Dengan wajah tampan, karir sukses serta wataknya yang tidak begitu buruk tidaklah sulit untuknya mendapatkan istri sebanding dengannya, bukan bermaksud mengatakan Karin itu tidak cocok bersanding dengannya, hanya saja Karin itu masih terlalu polos untuknya yang memiliki hasrat tinggi. Diusianya ke-27 tahun, dia sudah menjabat sebagai CEO diperusahaan milik ayahnya. Keluarga Karin adalah perusahaan besar yang bekerja sama dengannya sehingga perjodohan ini terjadi.

Mata Arka tak beralih dari Karin yang masih kesulitan meraih resleting gaun itu. Ditariknya tubuh Karin mendekat lalu tangannya mulai menurunkan resleting gaun itu dengan sekali tarik.

"Makasih." ucap Karin gugup lalu berlari ke arah kamar mandi.

"Karin!" Panggil Arka membuat langkah Karin terhenti. Karin tidak menoleh, tetap diam dalam posisinya menunggu Arka berbicara.

"Kalau kamu aku ajak bicara tolong tatap mataku!" Protes Arka
Sejak bertemu satu minggu yang lalu, Karin tidak pernah menatap matanya langsung sekalipun, entah karena sungkan atau takut, Arka tak tahu kenapa.

"Iya kak." Jawab Karin lembut kemudian berlalu masuk ke kamar mandi.

Tak beberapa lama, pintu kamar mandi berdecit, tanda terbuka. Arka yang memejamkan matanya memilih tak menghiraukannya. Karena tak mendengar suara langkah maupun suara apapun, Arka akhirnya membuka matanya, dia terkejut saat Karin menatapnya dari balik pintu kamar mandi.

"Kenapa?" tanyanya dengan kening berkerut.

"Ehm, kak bisa minta tolong ambilkan handuk?" Karin berusaha menatap mata Arka.

Arka mendesah "Kalau ada perlu, bilang aja." Arka meraih handuk dari dalam lemari kemudian menyerahkannya pada Karin.
"Makasih Kak." pintu itu kembali tertutup.

Arka beralih ke balkon setelah melepaskan kemejanya sehingga menampakkan dadanya yang bidang dan berotot.

Suara pintu kamar mandi kembali terdengar, Arka menoleh. Karin terlihat mengintip dari ambang pintu. Ia menatap Arka kebingungan, "Kak?"

"Hem?" Jawab Arka pelan

"Kakak bisa keluar dulu? Karin mau berpakaian dulu." cicitnya pelan.

"Kenapa? Aku sudah menjadi suamimu dan kamu harus terbiasa melakukan apa pun dengan aku di sekitarmu." jelas Arka mendekati Karin yang semakin gugup.

"Tapi Kak—" cicit Karin setengah memohon.

"Ya sudah, cepetan pakai bajunya, entar masuk angin." Kata Arka keluar dari kamar. Karin menghela nafas lega dan langsung mengenakan pakaian tidurnya, ia melirik pintu kamar yang sudah tertutup, "Kakak juga jaga kesehatan, jangan suka nggak pakai baju," gumamnya seraya mengikat asal rambut lurusnya.

"Udah?" Teriak Arka dari luar sana membuat Karin terkejut lagi.

"Udah Kak." Balas Karin.

Arka kembali masuk, berjalan lurus menuju balkon lagi, merogoh saku celananya kemudian mengeluarkan kotak rokok. Karin menatap apa yang baru saja dikeluarkan Arka, dia tak tau jika Arka merokok. Itulah tanda jika dia tidak mengenal suaminya itu sama sekali.

Arka menyalakan pematiknya kemudian membakar ujung rokok hingga mengeluarkan asap. Menghisapnya kemudian mengeluarkan sekepulan asap.
"Kak.." lirih Karin yang membuat Arka langsunh menoleh menatapnya heran.

"Hm?"

"Kakak merokok, ya?" Ucap Karin gugup. Arka menatap rokok yang ada ditangannya kemudian mengangguk.

"Yah, kamu baru tahu?" Balas Arka.

"Kakak bisa berhenti merokok? Itu enggak bagus buat kesehatan." ucap Karin, suara bergetar. Butuh keberanian ekstra untuk bisa menyuarakan itu.

"Karin, aku sudah dua tahun merokok dan lagi tak mungkin aku berhenti merokok hanya karena permintaan kamu." jawab Arka dingin.

Karin mengangguk. Diambilnya bantal serta selimut tipis dari ranjang, "Aku tidur diluar Kak. Aku enggak tahan asap rokok." ujarnya keluar dari kamar.

Arka tak begitu memperdulikannya. Sesudah sebatang rokok itu habis, dia menghempaskan tubuhnya lagi ke ranjang. Ia sedikit merasa bersalah membiarkan gadis yang sudah menjadi istrinya itu tidur di ruang tamu yang dingin.

Rasa bersalah menyelimuti pikiran Arka. Akhirnya dia menyerah dan berlalu ke ruang tamu untuk menyuruh Karin tidur di kamar. Dari kejauhan, Arka bisa melihat jika Karin sudah tertidur lelap, rasa bersalah semakin menghampirinya. Ia membelai lembut rambut basah Karin.

"Aku tidak akan bisa menjadi suami yang baik. Sungguh." Gumamnya pelan.

***

Jangan lupa bintang dan sarannya

See you next chapter♡

Lovely HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang