"Kenapa gue harus pergi?" Tanya Angga mulai curiga dengan tanda-tanda yang Karin perlihatkan. Pasti ada sesuatu yang Karin ingin sembunyikan mengenai hal yang akan dikatakan oleh Vita. "Gue enggak bakal pergi sampai gue lihat lo berdua baik-baik saja." Angga bersikeras tetap tinggal.
Karin menggeleng kecil lalu menghela napas, "Gue mohon Ga, sekali ini aja gue mohon lo nurutin kemauan gue, ya?" pinta Karin dengan wajah memohon. Ia masih berusaha menenangkan Vita yang masih menangis. Sepertinya masalah Vita tidak hanya satu, melainkan banyak.
Angga mendesah kesal lalu berteriak frustasi. Mengacak rambutnya tanda dia sedang marah sekarang. Dia tidak bisa menolak permohonan Karin. Dia tidak mau nantinya Karin akan menganggapnya beban dan malah membencinya. Dengan cepat Angga mengambil barang-barangnya, bersiap pergi meninggalkan kedua perempuan itu. Sebelum pergi, Angga berpesan, "Gue pulang. Ntar kalo ada sesuatu langsung telpon gue." Karin mengangguk tanda mengerti dan Angga akhirnya benar-benar pergi.
"Lo kenapa Vit? Tenang dulu." Karin menuntut Vita untuk duduk di sofa. Setelah mematikan televisi yang ditinggal menyala oleh Angga, Karin bergegas mengambilkan minum untuk menenangkan Vita.
"Gue benci Rin, gue muak," isak Vita sembari menatap Karin dengan raut bersalah. Dia merasa menjadi sahabat yang paling jahat yang ada di dunia ini, membiarkan sahabatnya berjuang sendiri padahal kenyataannya kebenaran yang dicari ada di dekatnya, sangat dekat hingga ia merasa jahat dan hina terhadap dirinya sendiri.
Karin sama sekali tidak mengerti maksud Vita. Mungkin Vita sedang ada masalah dengan Vico tetapi anehnya dia curiga karena entah kenapa nama Arka terucap diantara kalimatnya Vita. "Lo kenapa sih Vit? Cerita deh sama gue. Lo berantem sama Kak Vico, atau..." Karin menggantung kalimatnya, matanya menyelusuri bola mata Vita, mencoba mencari sedikit celah yang ada disana. "Ini berhubungan dengan Kak Arka?"
"Rin, kak Arka masih hidup." Vita menjerit histeris seraya memeluk Karin erat, mencoba menghilangkan perasaan bersalah yang merayapi tubuhnya. "Gue minta maaf Rin, selama ini gue nggak sadar kalo ternyata kak Arka masih hidup."
Karin merasa jantungnya berhenti berdetak. Ada perasaan yang muncul ketika Vita mengatakan jika Arka masih hifup yang tidak bisa dijelaskan melalui kata-kata. Sekarang, apa yang selama ini diharapkannya dan apa yang selalu menjadi bagian dari doanya terasa semakin nyata.
Entah mengapa detik itu juga, Karin sudah sungguh percaya jika Arka masih hidup. Sebab dia tahu Vita bukanlah tipe perempuan yang bermain-main dalam berkata. Ditambah lagi suasana saat ini bukanlah saat yang tepat untuk bercanda. Karin memegang kedua bahu Vita, menatap sepasang mata Vita yang mulai memerah. Berusaha mencari apakah ada celah kebohongan disana.
"Maksud lo apa Vit? Jangan bercanda."
Vita menggeleng cepat sembari mencari sesuatu di tas ranselnya. "Ini buktinya, gue nggak bercanda Rin." Ia menyerahkan kertas yang terlipat acak kepada Karin.
"Apa ini?"
Vita mengisyaratkannya untuk membaca sesuatu di kertas tersebut sebab dia sudah terlalu lemah untuk menjelaskan apa yang terjadi. Biarkan Karin memprediksi sendiri apa maksud tulisan di kertas itu. Karena semua kebenaran yang Karin inginkan jelas di sana.
Perlahan Karin mulai membaca barisan kalimat bahasa Inggris dan Jerman yang tertera dikertas putih yang ada ditangannya. Berusaha mencerna dan memahami isi dari surat yang merupakan surat keterangan sakit yang biasanya menjadi bukti bahwa seseorang adalah pasien dari suatu instansi kesehatan.
"Gue nemu kertas itu dari ruang kerja Vico," cicit Vita begitu dirinya sudah sedikit lebih tenang. "Dan itu bukti kuat yang menyatakan kalo Kak Arka itu masih hidup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovely Husband
Romance[attention : belum direvisi, banyak typo, kesalahan penggunaan kata dan tanda baca] Kisah antara Arka dan Karin dimulai saat keterpaksaan menghampiri kedua belah pihak. Antara tidak ingin mengecewakan atau dianggap tidak memikirkan keluarga membuat...