"Kak, buruan, ini udah mau jam sepuluh!" Omel Karin di dalam toilet. Beberapa menit yang lalu, dia pergi ke toilet setelah mendengar bel tanpa pergantian pelajaran untuk menelfon Arka. Setelah ini dia berniat izin kepada Bu Gina karena dia harus menjemput Fannesa di bandara sekarang juga. Sedangkan Arka baru saja keluar dari ruang rapat dengan segala kepenatan dan kelelahan yang merayapi tubuh dan pikirannya. Dan sekarang Karin menganggunya, ehmm, tidak bisa dibilang mengganggu sih, karena dialah yang berjanji akan ikut menjemput sepupu Karin kemarin malam.
Arka mempercepat langkahnya menuju ruangannya, hingga Arka harus mengacuhkan semua sapaan karyawannya. Kali ini terlinganya sudah benar-benar sakit sebab sejak tadi pagi, suara Karin selalu saja membuat telinganya hampir tuli. Kemarin malam Arka harus begadang untuk menyusun rapat hari ini dan dia juga menjadi pelampiasan kemarahan Karin karena mobilnya tiba-tiba mogok diperjalanan mengantar Karin ke sekolah"Sabar, tungguin aku di depan gerbang, on the way, nih" Arka langsung menutup panggilan. Bisa-bisa suara Karin akan membuatnya tuli dalam arti sebenarnya. Sesampai di ruangannya, Arka melepaskan kacamata minusnya yang sebelumnya masih bertengger manis di hidungnya lalu dengan cepat meraih jasnya. Tak lupa, dia mengambil kunci mobilnya dan menyuruh Hana untuk menjaga perusahaan beberapa saat. Arka tak begitu panik sebab biasanya hanya butuh lima menit dari perusahaan ke sekolah Karin dan itupun kalau tidak ada macet.
Karin langsung kembali ke kelasnya lalu berpamitan kepada Bu Gina untuk pulang lebih dulu. Setelah Bu Gina mengijinkan, Karin langsung merapikan bukunya dan berniat pergi secepat mungkin sebelum Vita menghentikan langkahnya, "Lo mau kemana?" tanya Vita tanpa perlu basa-basi.
"Gue mau ke bandara, duluan yah, permisi Bu," Karin berpamitan sekali lagi yang dibalas Bu Gina dengan anggukan.
Karin mempercepat langkahnya setelah melihat pesan Arka yang mengatakan dia sudah sampai di depan gerbang dan sedang mencarinya. Karin tidak lagi berjalan melainkan berlari. Dia tak mau membuat sepupu satu-satunya akan menunggu lama.
"WOIII, BOKEEEP," teriak seseorang tanpa memikirkan jika ia sedang berada di koridor. Karin spontan menghentikan langkahnya. Tanpa melihat, Karin sudah tahu siapa yang baru saja memanggilny , Gue lagi sibuk, ucapnya dalam hati lalu berbalik badan untuk menatap manusia menyebalkan yang membuat langkahnya harus terhenti.
"APA?" tanya Karin dengan nada ketus sambil berkacak pinggang.
Egi menampakkan cengiran khasnya sambil berjalan mendekati Karin, "Lo mau kemana? Cabut? Bareng yuk,"
Karin mendesah kesal. Sejak kapan dia jadi sok akrab kayak gini? Pikir Karin melirik Egi curiga. Ia kembali panik saat melihat pesan baru dari Arka. Ia kembali menatap Egi yang lebih tinggi darinya, "Gue mau pulang, gue bukam cabut dan lo kalo mau cabut enggak usah ajak-ajak neng," dengus Karin.
"SIAPA YANG BARUSAN TERIAK DI KORIDOR?" Pak Anton—Guru BP—tiba-tiba muncul dengan tampang garang serta sebuah penggaris rotan ditangannya.
Karin melirik Pak Anton lalu menyengir, "PAK ANTON, PELAKUNYA EGII, NIH ORANGNYA"
Egi menatap Karin tak percaya atas kenekatan Karin melaporkannya pada Pak Anton yang terkenal sebagai guru BP ter-killer. Ia mengisyaratkan Karin agar membantunya kabur tapi Karin tidak mengerti kode yang diberi Egi. Jika ditanya mengapa Karin tidak mengerti kode yang sering diberikan orang-orang disekitarnya padanya, dengan santai Karin akan menjawab 'gue bukan anak Pramuka yang ngerti sama tanda-tanda maupun kode-kodean'. Egi mendesah pasrah saat penggaris rotan milik Pak Anton sudah mendarat mulus di kepalanya. Ini sudah ketiga kalinya dalam hari ini dia berurusan dengan Pak Anton. Pertama, karena terlambat. Kedua, karena rambutnya yang sudah terlalu panjang dari aturan untuk anak cowok dan ketiga adalah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovely Husband
Romance[attention : belum direvisi, banyak typo, kesalahan penggunaan kata dan tanda baca] Kisah antara Arka dan Karin dimulai saat keterpaksaan menghampiri kedua belah pihak. Antara tidak ingin mengecewakan atau dianggap tidak memikirkan keluarga membuat...