[20]

394K 15.2K 309
                                    

Karin merasa kepalanya masih saja sakit. Dan yang lebih membuat kepalanya sakit adalah karena Egi membawa motornya dengan sangat lambat. Bahkan becak sepeda saja jauh lebih cepat. Jika Karin tidak sakit, mungkin dia akan lebih memilih berjalan kaki daripada harus menumpang pada motor Egi.
"Bisa cepetan enggak sih, Gi?" Keluh Karin.

Egi sama sekali tidak merespon. Merasa diacuhkan, Karin mendorong kepala Egi yang terbungkus helm membuat Egi me-rem motornya tiba-tiba.
"Apaan sih Rin? Bahaya tau? Kalo kita kecelakaan terus kita mati? Gimana?" Egi mendecak kesal menatap Karin yang hanya memasang tampang datar.

"Haalah, dramatis banget sih hidup lo. Ini enggak kayak sinetron ataupun ftv yang mungkin lo tonton," balas Karin.

Egi mendecih, "Bukan gue yang nonton tapi nyokap gue kali," jawabnya tak mau kalah.

"Yang penting lo juga ikut nonton makanya lo tau kalo nyokap lo nonton sinetron," Karin menghela nafas panjang, "Bisa lebih cepatan dikit nggak? Ini motor lo yang aneh atau orangnya, sih? Masak motor gede kayak gini kalah sama becak?" Ketus Karin.

Egi menyungging senyum lebar, "Gue sengaja biar bisa lamaan sama elo,"

"Cih, cepetin atau gue turun disini aja?" Ucap Karin sembari melepas helm yang berada di kepalanya.

"Iya, iya, gue cepetin bawanya," jawab Egi mengerucutkan bibirnya membuat Karin tersenyum kemenangan.

Yap, biasanya waktu yang ditempuh dari sekolah ke runah cuma butuh 15 menit, itupun menggunakan mobil dan kena macet beberapa kali. Beda halnya naik motor, yang bisa nyelip harusnya cuma 7-10 menit dan ini malah menghabiskan waktu setengah jam.

"Gue turun disini aja," perintah Karin menyuruh Egi untuk menurunkannya di simpang kompleks rumahnya.

Egi mengerutkan keningnya, "Sampai depen rumah aja, kenapa? Biar sesekali gue bisa jemput," godanya.

Karin memutar bola matanya malas,"Amit-amit dijemput sama elo. Ini bakal jadi terakhir kalinya gue naik motor lo,"

"Yaudah turunin gue disini!!" Pekik Karin tapi tidak dituruti oleh Egi.

"Kasih tau yang mana rumah elo, baru gue turunin! Kalo enggal gua bakal bawa lo keliling Jakarta sampai lo kasih tau gue rumah lo yang mana," ancam Egi membuat Karin harus berpikir keras.

"Yaudah, rumah gue yang no.34. Cat rumah serba putih lalu tanda 'Hardikusuma family " jawab Karin kesal. Sedangkan Egi malah tersenyum bahagia. Entah sejak kapan dia begitu penasaran dengan gadis yang tengah diboncengnya kini.

Semoga kak Arka belum sampai di rumah, batinnya setelah melirik jam tangan di lengannya.

Egi akhirnya menghentikan motornya tepat di rumah yang bertandakan Hardikusuma family.  Karin akhirnya turun, "Makasi," ucapnya sembari merapikan roknya yang sudah kusut.

"Nggak usah formal kali. Kalo lo minta anterin tiap hari juga enggak apa kok," goda Egi membuat tangan Karin gatal untuk merobek mulut Egi yang menurutnya sama seperti mulut Arka layaknya mulut emak-emak.

"Sana, pergi lo!!" Perintah Karin.

"Nggak ditawarin masuk?" Tanya Egi.

"Kalo niat masuk, kalo enggak lebih baik," jawab Karin malas. Bukan malas menerima tamu tapi malas punya tamu yang absurd kayak Egi.

Egi menggeleng kepala, "enggak deh, lain kali aja. Oke, gue balik ya, see you tomorrow, baby,". Egi kembali mengenakan helmnya lalu menyalakan motornya. Sebelum hilang dari pandangannya, Egi sempat berkata sesuatu membuat kaki Karin terasa terpaku dan tak bisa menoleh kebelakang.

Lovely HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang