∈∋
Bibir gadis itu tidak henti-hentinya berdecak kesal, entah mengapa perjalanan yang biasanya hanya menghabiskan waktu 15 menit menjadi terasa sehari. Hari ini gadis itu sudah bertekat untuk mengetahui kebenaran sebenarnya karena sudah cukup lama ia menahan diri untuk melupakan semua kejadian yang berhubungan dengan dia dan sekarang rasanya dia harus menuntaskan apa yang sebelumnya ingin dia lupakan.
Sepergi dari rumah Vita, Karin terus mencoba menelepon Vico-sahabat dekatnya Arka, semasa hidupnya- yang dia yakini mengetahui semuanya secara rinci, namun sejak tadi, pria itu tidak juga menerima panggilannya. Karin hanya beransumsi jika Vico sedang sibuk semenjak mengambil alih semua pekerjaan yang Arka tinggalkan.
Matanya menatap keluar jendela nanar, pandangannya mengabur setelah air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Dia tidak bisa menahan rasa sakitnya kala mengingat pria yang ingin dia lupakan agar rasa sakit yang ditinggalnya bisa hilang sedikit demi sedikit. Langit mendung mengingatkannya akan peristiwa satu tahun yang lalu, kala itu juga cuaca sedang tidak baik, berketeparan sedang musim penghujan. Saat air mata yang tadinya terbendung akhirnya jatuh setelah hujan mulai berjatuhan, seolah sesuai dengan suasana hati Karin.
"Kenapa nona menangis?" tanya supir taksi yang sedang ditumpangi Karin. Supir itu terlihat ramah sesuai dengan suaranya yang terdengar lembut. Pria yang Karin tafsir berusia 50-an itu terlihat khawatir.
Karin mengusap air matanya, "Aku hanya teringat kenangan pahit yang membuat hidupku terasa suram."
"Nona tahu, seharusnya perempuan semuda nona menikmati hidup, bukannya bersedih."
Karin tersenyum kecil lalu mengangguk, "Ya, kurasa Bapak benar, kenapa aku harus bersedih di masa mudaku, padahal masih banyak yang bisa kulakukan."
Sang supir tersenyum kemudian keheningan kembali terasa. Karin mengalihkan pandangannya ke arah langit. Hujan semakin deras, membuat Karin ingin menari di bawah guyuran air hujan lalu menangis sepuasnya, memanggil nama pria itu sekuatnya, sebab tidak akan ada yang tahu dia menangis dan mendengar teriakannya.
Sebuah senyum miring tercetak di wajah cantik gadis. Rasanya dia memang tidak beruntung dalam urusan cinta. Setiap dia mencintai seorang pria maka akhirnya akan selalu menyedihkan. Tidak pernah ada pria yang selalu tinggal di sisinya. Mulai dari Rio hingga Arka. Keduanya meninggalkan luka parah di hatinya.
Suara hujan sedikit menenangkan pikirannya. Perihal hujan, jalanan semakin macet dan sepertinya dia akan tiba di tujuan lebih lama dari biasanya. Karin menyandarkan tubuhnya, menghirup aroma hujan dalam-dalam, kemudian menghela napas berat. Pikirannya kembali mengingat pembicaraanya dengan Egi tadi siang.
"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Karin begitu Egi duduk tepat di hadapannya.
Egi menggeleng kecil, "Maaf tentang kejadian setahun yang lalu..." ucap pria itu sedikit menunduk, "Aku tidak menyangka akan berakhir seperti itu."
Helaan napas terdengar jelas dari bibir Karin, tanda gadis itu sedang berusaha menahan emosinya dan terus bersabar, "Lantas?"
Pria itu menegakkan bahunya, menatap Karin lekat, seakan ada sesuatu yang sangat penting ingin dia katakan. "Aku ingin memberitahumu sebuah fakta yang pasti tidak kamu ketahui, Karin."
"Apa itu? Jangan mencoba mengarang cerita."
Egi menghela napas panjang, menyesap cappuccino yang baru dipesannya, lalu menghirup napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengembuskannya lagi, "Kupikir kau pasti tidak akan percaya kepadaku Karin. Namun itu terserah padamu untuk percaya atau tidak terhadap perkataanku. Setidaknya aku sudah berusaha mengatakannya padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovely Husband
Romance[attention : belum direvisi, banyak typo, kesalahan penggunaan kata dan tanda baca] Kisah antara Arka dan Karin dimulai saat keterpaksaan menghampiri kedua belah pihak. Antara tidak ingin mengecewakan atau dianggap tidak memikirkan keluarga membuat...