17. Planning

34.8K 1K 7
                                    

Bintang tersenyum lega ketika ia mengintip di door viewer dan tidak menemukan siapapun disana. Mungkin Clara sudah bosan memencet interkom selama dua jam tapi diacuhkan oleh Bintang. Mungkin. Karena siapa tau stalker itu sebenarnya masih berkeliaran di sekitar apartemennya kan? tapi karena beberapa saat kemudian sebuah SMS masuk ke ponselnya.

Honey, km lg pergi y? yaudah ntr ak dtg lg. c u

Bintang bergidik dan mengusap tengkuknya. Lalu ia membuka pintu apartemennya untuk mengambil koran.

Ia sudah menelepon Benedicto, adik ayahnya. Pamannya itu adalah pemilik salah satu perusahaan minyak terbesar di asia. Di perusahaan itu pula ayahnya Carla bekerja. Darimana ia tahu? Tentu saja Lucas. Sahabatnya itu punya banyak mata. Apalagi di Jakarta yang cuma seupil ini.

Tadi ia bertanya record pekerjaan bapaknya Clara di kantor. Tadinya kalau pekerjaannya abal abal, ia akan meminta pamannya untuk menyingkirkan laki-laki itu dari kantor pusat. Well, (lagi-lagi) kata Lucas, Clara tinggal bersama orangtuanya di Jakarta ini. Jadi Bintang pikir kalau bapaknya pergi otomatis sekeluarganya juga akan ikut pergi. Tapi sayangnya kata Benedicto, kinerja Pak Surya (nama bapaknya Clara) sangat baik. Citranya di mata semua orang juga baik. Bintang jadi tidak tega mengganggu bapak tua itu hanya gara-gara ulah gila putrinya. Membuatnya menjadikan alasan 'cuma nanya' sebagai sebab ia menelepon Benedicto.

Syukurlah sekarang wanita itu tidak lagi ada di depan pintunya. Bintang tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain menelepon polisi jika ia sampai menemukan wanita itu merecoki hidupnya lagi. Meski ia sangat tidak segan menghajarnya sendiri jika Kika sampai kenapa-kenapa. Tetap saja menyakiti wanita bukanlah hobi Bintang.

"Kamu ngapain Bi?" Suara serak Kika membuat Bintang hampir terlonjak di tempatnya. Ia menoleh dan melihat istrinya itu sedang mengucek mata dan menguap. "Memangnya ada tamu?" Tanyanya lagi.

"Morning angel" Bintang segera berbalik dan mengalihkan fokus Kika. Gadis itu tersenyum. Membuat Bintang lega pancingannya berhasil.

"Pagi Bi. Kamu bangun jam berapa tadi? Aku liat depan TV udah bersih aja" tanyanya. Kika dan Bintang berjalan bersisian ke bagian dalam apartemen.

"Tadi aku nggak tidur lagi. Jadi sekalian diberesin" terang Bintang. Kika manggut-manggut dan mengikat rambutnya. Bersiap cuci muka dan sikat gigi sebelum membuat sarapan.

"Bi aku lagi kepengen nasi goreng. Nggak papa ya?" Tanya Kika begitu gadis itu selesai cuci muka dan kembali ke sisi Bintang. Ia tahu Bintang tidak bisa makan nasi untuk sarapan. Terlalu berat katanya.

"Yaudah nggak apa-apa. Sesekali ini" Bintang menyahut tanpa menurunkan ponselnya yang ia pakai untuk kembali browsing resep croissant.

"Beneran? Apa kamu mau makan roti aja Bi, ntar aku bikin nasgor nya cuma 1 porsi aja"

"Nggak papa"

"Oke"

Kika beranjak dari sofa menuju dapur. Mulai menyiapkan bahan yang akan diolahnya menjadi bumbu nasi goreng. Kika senang memasak. Awalnya hanya demi menghemat biaya makan saat ia ngekos dulu. Lama kelamaan jadi hobi dan ia menyukainya.

"Ka, kamu udah telepon Ibu?" Bintang muncul di dapur. Menarik salah satu kursi dan duduk di meja pantry. Tangannya memainkan ponsel. Masih mencari tutorial membuat croissant di internet.

"Tadi udah aku SMS. Kamu tau sendiri kalo aku baru bangun serak banget" sahut Kika. Tangan gadis itu sedang mengiris tomat dan timun lalu menyusunnya bersama telur dadar diatas dua piring nasi goreng. "Jjaaann~ udah jadi. Makan depan TV aja yuk Bi. Udah lama nggak nonton kartun." Ia meletakkan dua piring itu ke coffee table. Lalu kembali lagi ke dapur untuk mengambil americano dan air putih sementara Bintang mengekorinya. Ia tidak pernah habis pikir dengan slogan favorit Bintang, hasil dari merombak slogan salah satu iklan teh.

Marriage With(out) LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang