36. Escape!

25.9K 881 14
                                    

Ho ho ho! Ternyata lebih cepat dari dugaanku. Padahal besok ujian malah sempet2nya nulis ㅋㅋㅋ
Enjoy :)

***

Kika terbangun dengan perasaan kacau. Ia merasa kesadarannya mengambang antara sadar dan tidak sadar. Tubuhnya terasa panas namun gadis itu menggigil dan butiran keringat dingin membanjiri tubuhnya.

Pandangan Kika mengabur. Dan melihat ia masih menggelung dirinya menyerupai armadilo di ruangan sempit dan pengap itu membuatnya sedikit putus asa.

Bukan.

Semua itu nyata. Sama sekali nyata dan bukan mimpi.

Napas Kika memberat begitu gadis itu mencoba duduk. Ia menyandarkan tubuhnya ke daun pintu dengan masih memeluk lutut. Ia merasa kedinginan dan kepanasan pada saat yang sama. Membuatnya teringat akan kondisinya saat ia terserang typhoid fever yang bersamaan dengan demam berdarah dengue dulu. 

"Huffh" Gadis itu memejamkan mata. Mencoba menghalau perih, nyeri berdenyut, dan demam sekaligus dingin yang menyerangnya secara bersamaan.

Ia sakit. Ia lelah. Kalau boleh memilih ia lebih menyukai ide untuk kembali tertidur daripada menyusun strategi untuk keluar dari situasi ini. Tapi otak rasionalnya berkata akan berbahaya baginya apabila ia tetap berada disana dengan kondisi demikian. Karena selain ia butuh makan dan minum -dan Bintang-, ia juga butuh sholat dan obat. Bayang-bayang waktu sembahyang yang dilewatinya membuatnya tambah merasa sengsara.

Setelah beberapa saat menguatkan mental, tubuh yang gemetar itu mulai berdiri. Tangannya menumpukan tubuhnya di kenop pintu untuk beberapa saat karena perubahan posisinya dari duduk ke berdiri membuatnya sedikit pusing.

Cklek

Pintu terbuka. Melihat langit yang masih memiliki bulan namun tampak mulai terang, Kika tebak sekarang adalah waktu subuh. Mungkin sekitar jam 5 dini hari.

Gigi gadis itu bergemeletuk merasakan dinginnya udara pagi menyapa kulitnya. Menambah getaran tubuhnya yang panas namun kedinginan. Rasa dinginnya seperti saat Kika pertama menjejakkan kaki di Sapporo tanpa mantel memadai. Sangat dingin sampai rasanya menusuk sampai tulang.

Ia sengaja membiarkan pintu gudang itu terbuka. Berjaga-jaga apabila anjing-anjing itu mengejarnya maka ia akan bisa langsung masuk tanpa repot memutar kenop pintu.

Kika mulai mengendap-endap.

Satu langkah..

Kika baru tersadar kakinya tanpa alas saat pucuk rumput jepang menusuk telapak kakinya. Sakit. Tapi gadis itu memilih masa bodoh karena sepatunya hanya akan menimbulkan lebih banyak suara. Menggigit bibir dan lanjutkan langkahnya.

Dua..

Tiga..

Empat..

Lima.. Enam.. Tujuh delapan sembilan..

Ia terus melanjutkan langkahnya menuju pagar yang rasanya seperti bermil-mil jauhnya itu. Sampai akhirnya ia memasuki area rumah utama, ia merapatkan diri dengan dinding rumah besar itu. Sejenak mengatur napasnya yang memburu.

Pikiran akan posisinya yang seperti agen rahasia yang hendak menyelundup ke rumah musuh membuat Kika sedikit terhibur. Bibirnya sedikit menyunggingkan senyum yang kemudian berubah menjadi ringisan karena bagian bibirnya yang sobek dan bengkak di wajahnya terasa nyeri.

Menyusuri tembok, Kika kembali berjalan. Tertatih dan sangat hati-hati, ia melongokkan kepalanya. Mengintip dari balik tembok dan mendapati halaman depan sebuah rumah.

Dengan lima buah rumah anjing berjejer disana. Yang masing-masing dihuni oleh seekor bulldog. Membuat Kika menelan ludah. Nervous.

Jantungnya berpacu kencang dan napasnya kian memberat. Kilasan akan kejadian masa kecil yang membuatnya trauma dengan bangsa canine mulai menari-nari di kepalanya sementara pandangannya mulai memburam.

Marriage With(out) LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang