"Jangan terkecoh liat cengiran gue, karena itu palsu hehe."
■□■□■
Jarum jam yang bertengger dipergelangan tangan Zedney tepat menunjukan pukul delapan malam. Cewek itu hanya mengenakan celana jeans panjang serta jaket putih yang melapisi kaos pendeknya. Rambutnya tetap dibiarkan terurai berantakan.
Malam ini cuaca terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya. Terlebih petang tadi hujan baru berhenti. Jalanan Kota Jakarta masih menunjukkan bekas jatuhnya rintik air hujan.
Rasanya bukan semakin larut masalah dalam pikirannya, tapi entah justru terasa semakin membeludak. Rehan masih teringat jelas raut wajah Zedney ketika menyebut nama sahabatnya, Dinar. Terlihat jelas kekhawatiran didalamnya.
Sampai saat ini Rehan tetap berusaha untuk tidak berpikiran negatif untuk kedua orang itu. Karena yang ia tahu, mereka adalah dua orang yang saling bersangkut paut dengan ribut.
Sementara dibalik punggungnya, Zedney terus dibayang-bayangkan dengan Dinar yang tak berdaya.
Tatapannya lurus menatap kosong kearah lampu-lampu jalanan. Bahkan kedua tangannya saling berpautan diantara tubuhnya dan tubuh Rehan."Zedney?" Panggil Rehan menatap cewek itu lewat kaca spion.
"Benerin spionnya!" Pinta Zedney acuh tak acuh.
Sudah menjadi kebiasaan ketika mereka berdua diatas sepeda motor. Rehan selalu mengatur letak kaca spion agar dapat melihat wajah Zedney dibalik punggungnya. Tapi cewek itu selalu rewel, memukul bahu cowok itu berulang kali agar mengatur kembali kaca spion kearah semula.
Rehan menepikan motornya dan turun. Zedney yang masih terduduk diatasnya hanya memberi tatapan heran.
"Kenapa kak?"
"Tujuan aku ke..." lagi lagi harus kembali terpotong oleh ucapan tiba-tiba Zedney.
"Tunggu!" Cewek itu ikut turun dari motor dan melepas jaket putih yang dikenakannya. Seketika sifatnya berubah manis.
Mengingat Rehan yang hanya menggunakan kaos dan celana pendek, pasti dia sangat kedinginan. Zedney sampai tak menyadari hal itu karena Dinar. Ya, Dinar.
"Maafin aku kak, aku sampe nggak sadar, kak Rehan pasti kedinginan ya?" Zedney membentangkan jaketnya dibahu cowok yang lebih tinggi darinya itu.
Namun sebelum tangan Zedney sampai dibahunya, cowok itu langsung mengambil jaket dari tangannya dan meletakannya asal diatas jok motor. Lalu digenggamnya erat kedua tangan cewek itu. Ditatapnya lekat kedua mata yang masih sembab sebab tangis.
"Kak?"
"Oke, aku cuma minta waktu 5 menit buat ngomong ini sama kamu."
"Tapi kan ini buk..." kali ini ucapan Zedney yang langsung ditepis oleh Rehan.
"Bukan tentang kejadian tadi pagi, Itu besok aja."
"Terus?"
"Aku cuma mau bilang-- Tolong jangan bikin aku berfikir hal lain tentang kamu dan Dinar. Terserah kamu mau nanggepin omongan aku ini apa. Tapi yang jelas, aku cuma takut kehilangan kamu because I love you more than others people."
Tubuh cewek itu terpaku. Seperti ada bisikan tak terlihat yang mengatakan semua kesalahan ini berasal darinya. Padahal faktanya semua ini tak akan terjadi bila kejadian tadi pagi tak terjadi. Maksudnya, semua antara dirinya dan Dinar tidak akan seperti ini. Jauh tidak seperti ini.
Rehan melepas genggamannya dan mengalihkan pandangan sendunya ke jaket diatas jok motor. Diraihnya jaket itu dan kembali dipakaikan ditubuh Zedney. Tapi cewek itu masih diam. Seakan-akan perkataan cowok dihadapannya kini masih belum terserap seutuhnya masuk kedalam otak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last [Completed]
Подростковая литератураLo ibarat logika, dan dia ibarat kata hati. Sejauh apapun gue memperjuangkan logika, pada ujung jalan tetap aja ada dia sebagai kata hati gue. Karena pada dasarnya cinta itu tentang kata hati, bukan sebuah logika.