"Ketika harus melepaskan sesuatu yang bahkan nggak sanggup untuk dilepaskan."
■□■□■
Jarak dalam suatu hubungan itu bagaikan suatu tali yang diikatkan ke tubuh dua pihak. Semakin membentang jarak itu, semakin memungkinan tali yang kian tertarik untuk putus.
Dan jarak dalam suatu hubungan itu adalah pencipta rindu. Andai saja rindu itu tidak menyesakkan, siapa pun pasti bersedia-bersedia saja ditumpahkan rindu.
Sayangnya, itu hanya pengandaian, karena jarak tetaplah pencipta rindu. Rindu yang menyesakkan sebab menghimpit kalbu. Rindu yang mengantarkan hujan air mata bagi siapa pun yang tak bisa menanganinya.
Itu yang sedang dialami dua insan yang tengah dilanda kegundahan hati. Ya, bukannya Zedney takut dengan jarak. Bukan pula tak percaya dengan Dinar. Hanya saja baginya pernyataan Dinar kemarin seperti tamparan yang benar-benar membuat hatinya sakit. Terlalu takut membayangkan gimana nanti saat ia tak lagi dapat setiap harinya melihat cengiran dan senyum hangat kekasihnya itu. Dan ia juga tak sanggup bila harus melepas Dinar semudah ini.
Pada intinya semua pilihan sama-sama menyakitkan. Bedanya, jika ia melepaskan cowok itu, sepertinya rasa sakit dan rindu hanya akan ia rasakan tanpa tau harus berbuat apa. Sebaliknya, jika ia memilih bertahan, sakit yang dihantarkan rindu masih bisa disembuhkan dengan pertemuan yang mungkin akan sangat sempit waktu.
Semalaman penuh pikirannya terus dihantui jawaban atas dua pilihan itu, bertahan atau melepaskan. Ia tau, mungkin ini adalah hari terakhir kebersamaannya dengan Dinar setelah besok cowok itu akan benar-benar pergi. Dan ia juga telah memutuskan untuk menghabiskan waktu terakhir ini untuk memberikan jawaban yang menurutnya adalah yang terbaik untuk keduanya.
Dengan jaket denim yang melapisi seragam putihnya, Zedney menuruni undakan anak tangga menuju lantai bawah. Mendapati semua anggota keluarganya tengah terduduk rapih di meja makan, sedang menunggu kehadirannya barangkali. Lantas ia segera mempercepat langkahnya dan duduk dikursi bagiannya.
"Pagi sayang." Sapa Renata yang membuat Zedney sedikit terkejut. Ada apa dengan mamahnya? Akhir-akhir ini sikapnya berubah menjadi lebih manis tanpa sebab yang ia ketahui.
"Pagi juga mah." Zedney mengulas senyum melapisi kantung matanya yang sedikit membengkak karena air mata yang terus mengalir semalaman. "Mamah tumben belum berangkat?"
"Mamah lagi ambil cuti. Itu mata kamu kenapa?" Ujarnya seraya memberikan lapisan roti tawar diatas piring Dani, suaminya.
"Abis nangis ya kamu?" Kini gantian Oki yang bertanya.
"Ha? Engga kok, Zee gapapa." Bohong, sudah pasti itu jawaban yang paling aman.
"Jangan bohong sayang, ada yang nyakitin anak gadis papah?" Lanjut Dani menatap khawatir anak perempuan satu-satunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last [Completed]
Teen FictionLo ibarat logika, dan dia ibarat kata hati. Sejauh apapun gue memperjuangkan logika, pada ujung jalan tetap aja ada dia sebagai kata hati gue. Karena pada dasarnya cinta itu tentang kata hati, bukan sebuah logika.