Sorot lampu jalanan Kota Jakarta pada malam itu menjadi salah satu kesaksian perasaan Zedney. Setelah ia dan Rehan pamit pulang dari rumah Dinar, mereka berdua mampir kesebuah cafe yang menjadi awal kisah cinta mereka.
Masih sama seperti saat kunjungan pertama kali, mereka menempati meja persis samping jendela. Yang memaparkan indahnya kota metropolitan pada malam hari.
Dan makanan yang dipesannya pun masih sama, seperti dulu. Tentunya mengingatkan tentang awal kedekatan keduanya. Tapi cewek itu hanya menatap kosong kearah jendela, memandang pancaran lampu kendaraan yang berlalu lalang. Tanpa menatap seseorang yang sedari tadi terus menatapnya.
"Zedney?" Rehan memecah keheningan yang sempat tercipta.
"Hmmm." jawab cewek itu lebih seperti gumaman kecil. Matanya masih memandang kosong kearah jendela.
"Kamu masih mikirin Dinar?"
"Siapa yang mikirin dia si !" Dengan cepat Zedney menoleh kesal kearah cowok di hadapannya.
Rehan menatapnya lekat, penuh arti, dan mengulas senyum.
"Aku di depan kamu Zee, bukan di jendela"
"Maaf kak."
"Aku paham kamu masih marah kan sama aku?"
Yang ditanya tidak menjawab. Zedney ikut menatap kedua mata Rehan dan tersenyum. Tersenyum sebagai jawaban yang tak ia suarakan.
"Mungkin kamu bertanya-tanya siapa perempuan itu? Dia Dena" Rehan mencoba menjelaskannya perlahan. Meski niatnya besok, namun saat ini adalah waktu yang lebih tepat baginya.
Zedney masih menatapnya lamat. Dan tatapannya semakin mengerat, berisyarat siap mendengar kelanjutan penjelasan oleh kekasihnya itu.
"Setelah apapun yang aku jelasin ini, aku harap kamu tetap sama, dan gak akan berubah Zee!" Suaranya terdengar lembut, namun siapa yang tau jika ternyata kelembutan itu akan kembali melukai hati Zedney nantinya.
Rehan menjelaskan semuanya kepada Zedney. Tanpa ada yang ditutupi, tanpa ada yang dihalangi, tanpa ada yang dihilangkan, dan semuanya adalah kejujuran. Dari awal sampai ketika cewek itu datang dan memeluknya. Dari awal sampai ketika cewek itu kembali.
Dan ini adalah ketiga kalinya Zedney mendengar cerita yang sama.
Dari sahabatnya, Dinar dan... Rehan.
Sampai cewek itu tersenyum tulus dan menganggukkan kepalanya perlahan.
"Ini ketiga kalinya aku dengar cerita yang sama."
"Kamu udah tau?" Tanya Rehan memastikan.
"Iya."
"Kamu masih marah?"
"Kak, aku marah karena kak Rehan gak pernah jujur sama aku sebelum kita jadian. Aku hanya takut ketika sesuatu yang telah menjadi milikku terlepas." Suaranya parau, terdengar jelas kegetaran didalamnya. Namun masih berhasil untuk tidak menumpahkan air mata yang sudah berada dujung pelupuk matanya.
Rehan tersenyum mendengar jawaban Zedney. Dan semakin tersenyum ketika menemukan rasa sayang yang tulus pada kedua pasang mata cewek itu.
Sampai pertanyaan yang juga menghantui pikiran Rehan belakangan ini, terucap oleh bibir seorang di hadapannya.
"Dia...." jeda, "dia kembali?"
■□■□■
Kriiiing... Kriiing.. Kriiing
Kriiiing... Kriiing.. Kriiing
Sudah sekitar lima belas menit jam beker berbentuk kerropi itu berdering. Membangunkan sang majikan yang masih terlelap di atas kasurnya. Ditambah selimut yang setia mendekap tubuhnya sejak malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last [Completed]
Roman pour AdolescentsLo ibarat logika, dan dia ibarat kata hati. Sejauh apapun gue memperjuangkan logika, pada ujung jalan tetap aja ada dia sebagai kata hati gue. Karena pada dasarnya cinta itu tentang kata hati, bukan sebuah logika.