Lo ibarat logika, dan dia ibarat kata hati. Sejauh apapun gue memperjuangkan logika, pada ujung jalan tetap aja ada dia sebagai kata hati gue. Karena pada dasarnya cinta itu tentang kata hati, bukan sebuah logika.
"Kita harus bahagia dengan jalan yang sudah kita pilih, meskipun tak hayal itu sedikit ataupun bahkan banyak menyakitkan."
***
Setelah melakukan perjalanan yang tak terlalu menyita waktu, akhirnya Dinar menginjakkan kakinya di negara dengan julukan 1001 larangan itu. Negara dimana akan ia raih semua mimpi dan cita-citanya. Dan tak lupa, negara yang juga menjadikan jarak antara ia dan kekasih, serta semua orang yang ia sayang.
Dinar mulai melakukan rutinitas perjalannya sebagai cowok ganteng. Headphone putih menggantung di leher ketika kedua tangannya dipenuhi oleh dua koper berukuran besar. Kaca mata hitam bertengger menghalangi matanya dari sinar mentari yang sedikit meredup. Tak panas, hanya saja cowok itu yang berlaga. Udara yang sekiranya berada di bawah 28° celcius itu mempermudah perjalanannya menuju apartemen yang sudah dipesan oleh Hani.
Sesampainya di kamar setelah menaiki lift yang mengantarkannya hingga lantai lima, Dinar segera membanting keras tubuhnya diatas kasur berlatar putih itu. Bomber, kaca mata hingga head phone ia lepas dan di lemparnya asal ke lantai beralas karpet berbulu biru.
Ia melentangkan kedua tangan hingga kaki, lalu dipejamkannya mata erat-erat. Berguling kesana kemari layaknya seorang bocah yang baru pertama kali tidur diatas kasur bagus.
Singapore.
Dinar bangkit tatkala melihat pemandangan menakjubkan dari luar balkon kamarnya. Kakinya mulai melangkah menuju segumpal cahaya itu. Ketakjubannya bertambah ketika kini kumpulan gedung-gedung pencakar langit milik Singapore dapat ia saksikan secara langsung tanpa penghalang oleh kaca apapun.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Anjir, eh Astaghfirullah, nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan Dinar?" Ujarnya menatap takjub pemandangan di depan.
Ia kegirangan sendiri sampai-sampai hampir memanjati pagar di balkon kamarnya. Rasa lelah hilang seketika. Dinar kembali memasuki kamar hanya sekedar untuk mengambil bomber dan kacamata hitam. Setelahnya ia langsung bergegas keluar area kamar menuju tempat yang akan menjadi kunjungannya pertama kali.
Tak jauh, cowok itu hanya mengitari sekitar apatermennya. Karena ini memang yang pertama kali dan ia pun belum terlalu mengenal jauh tentang tempat-tempat di Singapore.
Setengah jam sudah Dinar mengitari tempat-tempat sekitar, langkahnya mulai gontai dipadu keringat mulai membasahi pelipis cowok itu. Ia mendaratkan bokongnya di salah satu kursi di sebuah cafe lobby apartemen. Tangannya mendarat di udara mengisyaratkan agar seorang waiters menghampiri.
"What do you want order?" Tanya seorang waiters berseragam biru dengan senyum ramahnya.
"Hmm," Dinar masih melanjutkan pencarian di daftar menu yang sedang ia baca, "Americanoandchicken steak, please!"