"Jangan takut pada jarak, karena tak semua hubungan akan kandas dengan adanya jarak!"
■□■□■
Sinar mentari menyeruak memasuki kamar bernuansa cowok melewati pilah jendela. Menampilkan seseorang dengan muka bantal terlelap diatas kasurnya. Jam beker berbentuk bola berdering heboh ketika jarum pendek tepat menunjuk angka 6. Sang pemilik membuka perlahan kelopak mata, tersenyum malas sebab kantuk yang masih menguasai tubuhnya. Padahal biasanya, ketika jam beker itu berdering, dengan sigap Dinar kembali mematikan alarm itu. Tapi sekarang, sigap nya justru mengantarkan cowok itu masuk kedalam kamar mandi.
Siapa yang tidak semangat ketika sebentar lagi rindu yang sudah menyesakkan ini akan menghirup kebebasan, ketika fase ujian nasional itu terlewati sudah. Tiga hari, keduanya menahan rindu yang menggebu-gebu didalam lubuk hati. Dan sekaranglah saatnya melakukan pembalasan.
Dinar kembali memasuki kamar dengan handuk menutupi sebagian bawah tubuhnya. Beralih kedalam bilik lemari dan mengambil seragam yang sebentar lagi tak akan ia gunakan, putih abu-abu. Setelah semua tertata rapih membalut tubuhnya, ia beranjak kearah meja belajar, tempat dimana tas dan kunci motornya diletakan.
Dengan gaya rambut yang basah tak beraturan, ia menuruni beberapa anak tangga dan menemukan sosok wanita setengah baya nan cantik beradu dengan berbagai sayur mayur serta pisau didapur. Dengan memperkecil volume dari pijakan kakinya, ia mendekati sang bunda dan, mencium pipi wanita itu.
"Ya Allah" Hani menolehkan wajahnya, "Dinar, kamu ngagetin bunda aja!"
Cowok itu hanya terkekeh, "Maaf bun, Dinar berangkat ya."
"Eh tunggu dulu, kamu nggak sarapan?"
"Nanti aja lah bun, disekolah." Jawabnya singkat sambil menuangkan segelas air putih lalu diteguknya hingga tak tersisa.
"Yaudah hati-hati, kamu jemput Zedney lagi, kan?"
Dinar menganggukkan kepalanya semangat tanpa sedikitpun mengurangkan senyuman. Setelahnya ia menyalimi punggung tangan Hani dan bergegas menuju daun pintu utama. Ketika pintu itu mulai menunjukkan celah cahaya, terlihat seorang cewek dengan seragam putih abu-abu lengkap membelakangi arah pintu. Dinar mengernyitkan dahi.
"Zedney?"
Sosok cewek itu menoleh dan mendapati wajah kekasihnya yang terkejut. "Pagi sayang."
Dinar melajukan langkahnya bingung, "kamu, kok disini?"
"Lagi semangat aja, jadi aku yang nyamper kamu." Ujar cewek itu riang.
"Terus kamu naik apa?"
"Dianter bang Oki tadi, sekalian berangkat kuliah."
Cowok itu hanya tersenyum lembut dan mengelus sayang ujung kepala Zedney. Sementara terdengar teriakan dari dalam rumah. "Dinaaaar?" Dan diikuti suara langkah kaki menuju arahnya.
"Eh ya Allah ada si cantik!" Hani langsung memeluk tubuh Zedney penuh kelembutan. "Baru bunda pengen bilang Dinar, supaya pulang sekolah ajak kamu kesini."
"Iya, bunda." Zedney mencium punggung tangan Hani, menghayati sosok didepannya saat ini adalah mamahnya. "Zedney kangen sama bunda." Ujar cewek itu tersenyum.
"Sama anaknya juga kan?" Dinar menggoda.
"Hush ah gombal aja kamu pagi-pagi, nar!" Omel Hani, "bunda sepertinya lebih kangen deh." Lalu keduanya kembali tersenyum.
Setelah melakukan perbincangan kecil antara Hani dan Zedney, lantas Dinar segera menarik lembut pergelangan Zedney dan langsung bergegas menuju ninja merahnya yang terparkir dihalaman rumah.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Last [Completed]
Fiksi RemajaLo ibarat logika, dan dia ibarat kata hati. Sejauh apapun gue memperjuangkan logika, pada ujung jalan tetap aja ada dia sebagai kata hati gue. Karena pada dasarnya cinta itu tentang kata hati, bukan sebuah logika.