"Jangan ucapkan sayang bila tak mampu membuktikannya!"
■□■□■
Sama halnya seperti malam kelam yang lain. Malam yang senantiasa selalu membuatnya merasa terdekap oleh kesendirian. Mengayun di dalam pelukan sang angin malam. Hanya ada mereka, satu-satunya sumber yang setidaknya menjadi sedikit celah cahaya di malam gelapnya, bintang. Juga lembaran kertas yang tertumpuk menjadi sebuah buku, ibarat saksi, bahkan sejarah untuk hatinya yang rapuh.
Buku yang terisi penuh oleh kata-kata yang selama ini menetap di benaknya. Rangkaian kalimat tentang kerinduannya dengan sosok Renata. Tapi kali ini tidak, bukan Renata yang sedang menguasai perasaannya. Melainkan orang-orang baru itu, Rehan, Dena dan... Dinar.
Buku itu adalah tempatnya berlari ketika ia tak tahu kemana tempat untuk menguraikan rasa sakitnya. Bukan tak mempercayai ketiga sahabatnya, hanya saja untuk masalah ini ia merasa lebih enggan untuk berbagi. Walaupun pada akhirnya tetap akan terbuka, biarlah waktu yang meretasnya.
Benar, suntuk dan gelisah menguasai perasaannya sejak kejadian Rehan dengan sosok cewek itu, yang entah siapa terus menerus memasuki ruang pikirnya. Rapuh yang semakin dalam mengantarkan hatinya pada kehancuran.
Apa belum cukup hanya tentang sang mamah? Apa harus Rehan?
Sakit itu jelas, bahkan air mata yang sedari tadi ia tahan pun menolak untuk tetap bertahan lama di tempatnya. Bulir bening itu terjun dengan bebasnya.
Itu hanya sekejap, setelah rentetan kejadian antara dirinya dan Dinar kembali berputar di memorinya. Ada yang aneh, rasa sakit itu dengan mudah berubah cepat tergantikan oleh seulas senyum nan tipis. Meski tipis, Zedney merasa seolah luka yang diberikan Rehan akan pudar seiring waktu dengan, hadiranya Dinar.
Zedney mulai memahami satu hal, Tuhan tak akan membiarkan luka yang diberi untuknya tanpa ada yang dapat menyembuhkannya. Dan ia sadar, penyembuh itu ada lewat seseorang, Dinar.
"Dinar..."
Entah sadar atau tidak, nama cowok itu lepas dari mulutnya. Senyumnya kembali terulas lebih cerah dari sebelumnya. Membiarkan buku di genggamannya berpindah tempat ke sisi tubuhnya, memandang langit yang seolah tengah tersenyum kearahnya lewat cahaya bintang dan rembulan.
Dan tanpa sadar juga seorang wanita setengah baya sedari tadi sudah berdiri menyandar di dinding. Memperhatikan dengan seksama seorang gadis cantik yang mana teraliri darahnya.
Merasa tengah diperhatikan, Zedney menoleh ke arah samping. Benar saja, pandangan keduanya seketika langsung terkunci oleh kebisuan. Meski begitu, Zedney tetap menunjukkan rasa sayangnya lewat senyuman hangat. Karena sebesar bahkan sebanyak apapun luka yang disebabkan mamahnya takkan mampu merubah rasa sayang itu menjadi sebuah benci.
"Mah." matanya menatap sendu. Sebuah kerinduan terpapar jelas di dalamnya.
"Iya, sayang." Renata tersenyum menghampiri Zedney, turut mengayun di samping tubuh anak gadisnya itu.
"Mamah tumben udah pulang?"
Pertanyaan yang rasanya sulit untuk ia jawab. Renata hanya menatap sang anak dengan seulas senyum.
"Sayang?"
"Iya mah." Rindu itu jelas, Zedney berbinar menatap Renata penuh sendu.
"Hmm, kamu mau apa, nak?"
"Maksud mamah?"
Sebelum mulai masuk ke topik yang memang Renata tujukan, ia terlebih dulu mengelus lembut rambut anak gadisnya. Seakan sudah tahu apa yang kan terjadi setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last [Completed]
Teen FictionLo ibarat logika, dan dia ibarat kata hati. Sejauh apapun gue memperjuangkan logika, pada ujung jalan tetap aja ada dia sebagai kata hati gue. Karena pada dasarnya cinta itu tentang kata hati, bukan sebuah logika.