[36] - The Last

4.3K 229 16
                                    

"Bahkan untuk kamu, kata sayang itu sulit terdefinisikan."

■□■□■

Ketika masa-masa indah turut di isi dengan hal yang menyakitkan, anggap saja itu adalah sebuah pelengkap. Pelengkap untuk menguji kesetiaan hati dua pihak yang saling bersangkutan.

Bayangkan saja jika suatu hubungan selalu datar tanpa adanya lobang, pasti tak ada alasan untuk merasakan sebuah perjuangan. Tak ada alasan untuk merasakan jatuh dan bangkit bersama. Tak enak, bukan?

Ya, semua dorongan kini ia jadikan tiang untuk bangkit dari puing-puing yang sudah runtuh. Sekarang ia yakin, jarak bukanlah alasan untuk mengakhiri hubungannya dengan Dinar. Karena yang sekarang ia pikirkan, jarak Jakarta Singapore belum seberapa bila dibandingkan dengan jarak antara dunia dan akhirat.

Yang lain bisa, lalu mengapa ia tidak? Akan ia berikan senyuman tulus sebagai bentuk dukungan kepada kekasihnya itu di waktu-waktu terkahir sebelum keberangkatannya esok.

Kini ia berpijak diatas alas rumah berbalut keramik putih dengan tangan yang masih menggenggam erat paper bag. Matanya mulai menyapu kesetiap sudut ruangan, mencari sosok cowok yang akan segera membentangkan jarak dengannya.

"Dinar dikamarnya, samperin dia ya, sayang." Ujar Hani memecah lamunan Zedney.

Zedney tersenyum, pedih. "Iya, bunda." Lantas ia bangkit meninggalkan tiga orang yang masih terduduk diam menuju lantai atas.

Satu per satu anak tangga ia telusuri dengan ritme yang turut naik dijantungnya. Keringat dingin mulai membasahi sekujur tubuh cewek yang masih mengenakan seragam putih abu-abu. Ketika langkahnya berhenti didepan daun pintu bertuliskan Kamar Cogan, Tok Tok before open the door, seulas senyum mengembang diwajah Zedney.

Tingkah konyol yang sebentar lagi juga akan pergi meninggalkannya. Semua yang bisa membuatnya tertawa dikala hatinya terluka kini akan hilang. Ya, semua kan pergi.

Ketika knop pintu itu akan ditariknya, seseorang sudah lebih dulu menariknya dari arah dalam. Menjadikan dua orang yang saling memberikan tatapan sendu diam tak berkutik. Zedney langsung terjatuh kedalam dekapan Dinar. Hangat, nyaman, dan itu juga akan hilang. Air mata tak lagi dapat dibendungnya. Tarikan nafas mulai tak bisa ia kendalikan.

Dinar melepas dekapan itu, menarik lembut pergelangan tangan Zedney memasuki kamar bernuansa cowok. Keduanya saling duduk diujung kasur tanpa sepatah kata pun yang keluar. Kecanggungan masih terasa kental setelah sehari kemarin mereka putus kontak.

Keduanya saling menatap kosong ke arah depan, tempat barang-barang yang sudah terkemas rapih disatukan didalam koper. Pikiran mulai berkelana, hati mulai tak terkendali. Tanpa suara, sekuat tenaga Zedney menahan air mata yang sedikit lagi kan terjun bebas.

Melihat kekasihnya disamping sedang berjuang menahan air mata, Dinar bangkit dan tertunduk merendahkan tubuhnya dihadapan Zedney. Menggenggam erat kedua tangan yang nanti akan sangat lama untuk kembali dapat digenggamnya. Matanya menatap lekat mata merah Zedney.

"Believe me, please!" Ujarnya lirih. Dinar terus berusaha untuk meyakinkan kekasihnya itu meski pada dasarnya telah ia kembalikan semua pada takdir.

"Believe me, please!" Ucapnya semakin lirih.

Zedney yang melihat Dinar seperti itu merasa hatinya semakin terenyuh. Seolah pasokan udara didalam kamar itu telah habis. Seolah detik tak lagi berputar. Seolah kata tak lagi tersisa. Ia memejamkan kedua matanya diiringi jatuhnya bulir bening dipipi. Menahan sesaknya hati.

Dinar menaikan tubuhnya dan kembali memeluk Zedney. Dipeluknya erat-erat sampai cewek itu kembali menumpahkan semua air mata. "Believe me, believe me," bagaikan angin yang berhembus, "please!"

The Last [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang