Enam

4.2K 252 3
                                    

***

Hampir satu jam bus yang ditumpangi oleh Alcan dan kawan-kawan berjalan. Alcan hanya berdiam diri dengan earphone yang menutupi kedua telinganya. Dia tidak peduli dengan teman-temannya yang ramai, terutama siswa laki-laki yang bernyanyi bersama, dan salah satu dari mereka memainkan gitar. Sepertinya itu seru, tapi Alcan tidak tertarik untuk bergabung.

Alcan merasakan tepukan pelan pada bahu kananya. Alcan mendongak dan menemukan bu Winda selaku panitia penanggung jawab acara, dan juga guru bahasa  Indonesia di kelas Alcan. Cowok itu langsung melepaskan salah satu earphone nya agar bisa mendengar suara bu Winda.

"Kamu tidak bergabung dengan teman-temanmu?" tanya bu Winda melirik ke arah belakang bus yang sangat ramai.

Alcan menggeleng pelan, tidak lupa dengan senyum tipisnya. "Nggak bu," jawab Alcan sesopan mungkin.

"Loh, kenapa? Seru loh, tuh mereka pada nyanyi-nyanyi gak jelas," ucap bu Winda terkekeh melihat tingkah laku siswa dan siswinya.

Alcan hanya memasang senyum getir. Bu Winda menatapnya nanar. Bu Winda tahu jika Alcan ini termasuk siswa yang pendiam, dan selalu dijauhi teman-temannya. Bu Winda juga kadang bingung apa yang membuat Alcan harus dijauhi oleh teman-temannya.

"Ya sudah, saya kembali bangku, ya." Setelah mendapat anggukan dari Alcan, bu Winda kembali ke bangkunya yang berada di belakang bangku Alcan.

***

Andra memijit pangkal hidungnya. Sudah banyak berkas-berkas yang harus ia tanda tangani, mulai dari pukul 07.30 pagi tadi sampai sekarang memasuki jam makan siang. Kira-kira sudah hampir tiga jam setengah Andra berkutat dengan berbagai berkas dan laptopnya.

Andra meneliti setiap inci meja di hadapannya, dan tatapannya jatuh pada sebuah figura yang berisikan foto dua orang anak laki-laki, yang tengah saling berangkulan dan tersenyum dengan bahagianya menghadap kamera.

Foto itu diambil sendiri oleh Andra sekitar dua belas tahun yang lalu, sebelum semuanya berubah. Andra tersenyum menatap foto dua bocah laki-laki itu yang kira-kira mereka hanya berselisih tiga tahun saja.

Kejadian dua belas tahun yang lalu, melintas begitu saja di benak Andra, membuat kesedihan kembali bersarang dalam dirinya.

"Maafin Papa," gumamnya sangat lirih, sudut matanya sedikit mengeluarkan cairan bening yang dikenal dengan nama air mata. "Papa sayang kalian berdua," lanjutnya, kemudian kembali menaruh figura itu di meja kerjanya.

***

Flashback On

Bocah laki-laki yang umurnya ditaksir sekitar lima tahun itu, sangat nakal, dia tidak bisa diberitahu, ataupun diberi nasihat oleh kedua orang tuanya. Intinya bocah itu sangat sulit dilarang.

"Adek! Kamu bisa diem gak, sih?  Abang lagi ngerjain tugas nih." Bocah laki-laki yang lebih tua itu kesal, saat sang adik selalu menganggunya ketika sedang mengerjakan tugas sekolah.

Bocah berumur lima tahun itu menghiraukan sang kakak, dia terus menabrakkan mobil-mobilannya ke tangan sang kakak yang sedang menulis.

"Issh ... kamu bikin Abang naik darah tau gak?!" ucap sang kakak dengan nada suara yang dinaikkan.

"Naik dalah kenapa?" Wajahnya polos, tapi kelakukannya sangat bikin orang lain kesal setengah mati.

Sang kakak langsung keluar dari rumah, tanpa menghiraukan teriakkan adiknya. Mendengar teriakkan bocah laki-laki itu, datanglah seorang perempuan sekitar umur dua puluh tahunan itu menghamipiri bocah laki-laki yang masih memegang mobil mainannya.

Alcander (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang