Cahaya matahari mulai masuk melewati celah-celah jendela. Terdengar suara burung yang bernyanyi di pagi hari. Seorang remaja laki-laki masih terlelap di atas ranjangnya. Sampai suara alarm terdengar, ia pun bangun.
Alcan membuka matanya secara perlahan, lalu segera beranjak bangun. Luka di wajahnya mulai agak membaik karena kemarin Alcan sudah mengobatinya.
Dengan wajah tanpa ekspresi apa pun, Alcan turun dari ranjangnya, lalu berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan badannya.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Alcan untuk membersihkan badannya, cukup sepuluh menit saja. Alcan menatap pantulan dirinya di cerimin, rambut yang di sisir rapi, baju seragam yang dimasukkan ke dalam celana, dan dasi yang terpasang rapi juga. Oh ... terlihat Alcan yang kembali mengenakan kacamata berbingkai hitam itu lagi.
Sudah lama Alcan tidak memakainya, dan sekarang Alcan memakainya kembali. Jika dibanyangkan, penampilan Alcan kini kembali ke awal, tampilan anak culun. Entah kenapa di saat sedang banyak pikiran, Alcan lebih memperhatikan penampilannya agar terlihat rapi.
Setelah selesai Alcan pun segera keluar dari kamarnya, dan berjalan menuju meja makan untuk sarapan. Di meja makan Alcan sudah melihat kedua orang tuanya serta Alvan berada di sana.
"Pagi, Sayang. Semalem kamu ke mana aja? Pulang jam berapa?" tanya Indah dengan senyum manisnya, meskipun wajahnya terlihat pucat, tapi Indah mencoba untuk semangat pagi ini. Namun, Indah merasa ada yang aneh dengan wajah putranya itu.
"Wajah kamu, kok, babak belur gitu?" Senyum Indah luntur seketika saat melihat wajah Alcan yang masih meninggalkan bekas lebam.
Alcan tidak membalas pertanyaan Indah, cowok itu langsung saja duduk di sebelah Alvan yang sibuk memainkan ponselnya.
Sekali lagi Indah bertanya, "Alcan, itu wajah kamu kenapa?"
"Gak apa-apa," jawab Alcan sambil meraih sehelai roti.
"Nggak apa-apa gimana, sih? Itu wajah kamu lebam begitu." Indah semakin khawatir dengan keadaan Alcan, ia takut jika terjadi sesuatu pada putra bungsunya itu.
"Alcan gak apa-apa," ujar Alcan dengan nada datar. "Ada yang mau Alcan tanyain."
"Apa?" jawab Indah dan Andra hampir bersamaan. Sementara Alvan langsung melirik adiknya itu.
"Aura ...," gumam Alcan sambil menatap kedua orang tuanya secara bergantian, "siapa dia?"
Raut wajah terkejut sangat jelas terlihat di wajah Indah dan Andra, sementara Alvan yang tadinya akan minum jadi tersedak saat Alcan menanyakan hal itu.
"A-aura?" Andra terlihat sangat gugup, bahkan pria paruh baya itu merasakan keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya.
"Ma-mama, nggak kenal, Alcan," jawab Indah, tidak kalah gugupnya dengan sang suami.
"Aura ... ibu kandung Alcan?" tanya Alcan lagi tanpa menghiraukan perkataan kedua orang tuanya tadi.
"Hmm ... Can, ini udah jam enam lewat seperempat, lo kudu buru-buru ke sekolah," ujar Alvan tiba-tiba, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Alcan terkekeh kecil membuat kedua orang tuanya serta Alvan menautkan kedua alis bingung.
"Alcan udah tau semuanya," ucap Alcan sambil tersenyum. "Alcan terima semua rahasia yang selama ini kalian sembunyikan."
Hening, tidak ada lagi yang berbicara. Suasana di meja makan pagi ini sangat menengangkan.
"Alcan berangkat dulu," lanjut Alcan, lalu bangkit berdiri dan menyalami kedua orang tuanya sebelum beranjak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alcander (End)
Teen Fiction[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] Alcander, seorang remaja laki-laki yang sempat berpenampilan culun, membuat hampir semua teman satu sekolahnya mencibir dirinya, tapi Alcander tidak pernah mempedulikan itu. Alcander, seorang remaja laki-laki yang selal...