22

2.8K 29 0
                                    

"MEMANG sumoi. Dan yang paling membikin aku kagum sekali adalah ketajaman perasaanmu, yang dapat mengupas lukisan itu demikian jelasnya. Kau berbakat seni, sumoi."

Siauw Yang tertawa, "Ayahku pernah berkata, bahwa hidup ialah seni abadi. Perwujudan manusia inilah seni yang paling agung. Bentuk bentuk bunga, daun, batu, mega dan lain lain itulah seni terindah yang tiada taranya. Seni buatan manusia hanyalah, jiplakan belaka!"

Pun Hui memandang kepada gadis itu dengan mata terbelalak.

"Sumoi, kau merendahkan kaum seniman!"

Siauw Yang tersenyum geli. "Eh, eh, suheng jangan lantas ngamuk! Aku hanya mengulangi ucapan ayah saja."

"Kalau demikian anggapan ayahmu, tentu kau telah mendengar pula mengapa ayahmu berpendapat seperti itu."

"Memang, akupun sudah bertanya penjelasannya dan ia telah pula menjelaskannya."

"Bagaimana penjelasannya?"

"Nanti dulu, kau harus berjanji jangan marah marah seperti itu, karena aku hanya seorang bodoh dan yang akan kusampaikan ini hanya pandangan ayah. Pula, kau tidak boleh marah kepada ayahku, karena di dunia ini tidak ada orang yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih pandai melebihi ayahku, yakni menurut pendapaku."

Pun Hui tersenyum kembali dan mengangguk angguk. "Memang seharusnya demikianlah pikiran seorang anak yang berbakti. Baiklah, sumoi. aku akan mendengarkan penjelasanmu dengan tenang. Nah, katakan mengapa ayahmu menganggap bahwa seni buatan manusia itu hanya jiplakan belaka?"

"Misalnya lukisan ini. Memang indah sekali lukisan ini, bukan? Dan tanpa ragu ragu aku sendiri berani menyatakan bahwa lukisan ini adalah hasil seni manusia yang amat indah dan baik. Akan tetapi, lukisan ini takkan jadi apabila pujangga Li Po tidak menciptakan sajaknya MINUM ARAK BERSAMA BULAN DAN BAYANGAN yang kau bacakan tadi. Si pelukis ini bukan menciptakan lukisan atas hasil ciptanya sendiri, melainkan ia menjiplak dan isi sajak pujangga Li Po, Bukankah ini termasuk jiplakan?"

"Hm, aku mengerti maksudmu. Akan tetapi, bukankah ciptaan Li Po yang merupakan sajak indah itu tidak menjiplak dari siapapun juga?" bantah Pun Hui.

"Bukan demikian anggapan ayah. Betapapun indahnya sajak itu, tetap saja ia jiplakan. Keindahannya hanya sebagai cukilan tak berarti daripada keindahan keadaan yang sudah ada, daripada keindahan bulan, kakek, dan bayangan yang sudah ada dan sudah memiliki keindahan sepenuhnya! Coba kaukatakan, kalau tidak ada bulan, tidak ada bayangan dan tidak ada kakek itu mungkinkah Li Po menciptakan sajak tadi? Bukankah ia hanya meminjam saja daripada keindahan alam dan isinya yang sudah ada? Nah, itulah maka ayah berani mengatakan bahwa segala hasil seni manusia hanya jiplakan belaka daripada seni alam yang diciptakan tanpa contoh dan tanpa meniru oleh Thian Yang Kuasa!"

Pun Hui tertegun. Di dalam semua kitab yang pernah dibacanya, ia belum pernah mendengar tentang filsafat seperti ini. Sampai lama ia termenung lalu menghela napas dan berkata,

"Sumoi, ayahmu itu orang luar biasa. Aku ingin sekali bertemu dengan dia!"

Siauw Yang tertawa girang, akan tetapi ketika ia menoleh ke kiri dan membaca tulisan sajak yang tergantung di itu, ditulis dengan tulisan yang bergaya indah tiba tiba wajahnya menjadi muram.

Pun Hui menjadi heran dan cepat membaca sajak itu dengan suara lantang.

Disaksikan barisan gunung biru di utara kota,
Dan di timur nampak memutih air samudera.
Di sini kau harus tinggalkan aku dan mengalir pergi

Seperti tangkai bunga hanyut di air sungai.
Akan kukenang kau seperti awan berarak di angkasa

Yang harus berpisah dengan matahari di barat sana.
Tangan melambai selamat berpisah....

Pedang Sinar Emas ( Kim Kong Kiam )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang