PEMUDA ini memang sudah mempelajari kesusasteraan dan ia suka bernyanyi. Suaranya memang empuk dan merdu dan ia pandai sekali menyanyikan lagu lagu percintaan kuno,
"Bulan purnama tersenyum cantik nian!
Kepada siapakah kautersenyum bulan ?
Tentu kepada Sang Matahari Pujaan dan kekasih hati
Yang tak kunjung menampakkan diri.
Ah mengapa kau bermuram durja Bulan ?
Gelap menyelubungi wajah indah rupawan
Mengapa gerangan? Karena matahari tak kunjung datang
Tiada nampak di malam petang.
Dengar Dewi Bidan Tersedu sedan
Wahai kekasih di mana engkau gerangan ?
Suara Eng Kiat begitu merdu, penuh perasaan sehingga terdengar memilukan.Tak terasa pula Siauw Yang menengadah ke atas, memandangi mega mega yang bergerak perlahan terbayanglah wajah Pun Hui di antara mega mega. Suara itu menyayat hatinya dan tak terasa pula kembali air matanya bertitik.
"Kau menangis, adikku sayang? Kau lebih indah rupawan daripada bulan...." terdengar suara Eng Kiat yang menyadarkan gadis itu.
Cepat cepat ia menghapuskan air matanya dan berkata, "Eng Kiat, kalau kau memang kasihan kepadaku, besok pagi bikinkanlah sebuah perahu agar kita dapat berperahu dan melupakan kesunyian di pulau ini. Aku ingin sekali berperahu, menangkap ikan di laut."
"Tentu, adikku manis. Malam ini juga aku akan membuat perahu untukmu," kata Eng Kiat.
Siauw Yang mandang tajam, khawatir kalau kalau pemuda itu akan dapat membaca pikirannya, akan tetapi pemuda itu tersenyum senyum saja dan agaknya tidak menyangka sesuatu. Legalah hati Siauw Yang.
"Kau memang baik hati," katanya singkat. "Aku hendak tidur, kaubikinlah perahu itu."
Padahal semalam itu Siauw Yang tak dapat tidur sama sekali. Pikirannya bekerja keras. Kalau sudah ada perahu, berarti ia menambahkan sebuah kemungkinan untuk melarikan diri, pikirnya. Andaikata aku tidak dapat merobohkannya dengan kekerasan, dan dia selalu menjagaku, kalau sewaktu waktu dia tertidur atau alpa, aku dapat melarikan diri dengan perahu itu, pikirnya.
Eng Kiat ternyata memenuhi janji Semalam suntuk is bekerja dan pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, ia telah menyelesaikan perkerjaannva. Berkat tenaga lweekangnya yang tinggi dan pedangnya yang tajam, ia dapat membuat sebuah perahu kecil dari sebatang pohon!
"Mana layamya?" tanya Siauw Yang yang menjenguk dan melihat hasil pekerjaan itu dengan wajah riang.
"Di mana bisa mendapatkan layar di tempat mi?" tanya Eng Kiat menggaruk garuk kepala lalu menghapus peluh di dahinya.
"Kau punya baju luar yang lebar dan tebal? Beri aku barang empat buah, akan kubuatkan layar untuk perahu ini!" kata Siauw Yang.
Pemuda itu berlari ke dalam gua dan mengambil empat buah baju luamya yang tebal dan terbuat daripada kain mahal, ia menyerahkan baju itu kepada Siauw Yang sambil tersenyum.
Siauw Yang tidak berlaku bodoh untuk melarikan din pada saat Eng Kiat mengambil baju, karena dengan dayung saja ia tak mungkin dapat mencapai tempat jauh, apalagi karena ia tidak tahu ke jurusan mara ia harus berperahu. Setelah menenima baju baju luar itu, ia lalu menyambung nyambungnya dan menjahitnya dengan pertolongan tusuk konde dan untuk benangnya ia mengambil dari pinggiran baju luar.
Eng Kiat memandang kelakuan gadis itu sambil tensenyum senyum.
"Sayang kau membuatkan layar, alangkah senangnya kalau kau dan aku berada di rumah dan melihat kau menjahit baju untukku.""Cih, tak tahu malu. Pergilah dan jangan mengganggu pekerjaanku!" kata Siauw Yang.
Eng Kiat lalu menjauhi gadis itu, duduk bersandar pada sebatang pohon.
"Aku lelah dan ingin tidur, adik Yang. Aku percaya bahwa kau takkan sampai hati membunuh ku di waktu aku tertidur," katanya sambil tersenyum.
Siauw Yang mendongkol sekali dan ketika ia menengok pemuda itu telah mendengkun. Hati Siauw Yang berdebar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Pedang Sinar Emas ( Kim Kong Kiam )
Fiction généraleSeorang Pendekar yang bernama Bun Sam yang bertualang bersama Suhengnya (kakak seperguruan) Yap Bouw yang merupakan bekas jenderal yang sangat tangguh dalam tugasnya untuk membasmi Pasukan Mongol yang bernama Ang-bi-tin yang ganas dan tidak segan me...