40

2.4K 33 0
                                    

" Ada hawa kematian di sekitar tempat ini, tak mungkin terlewat begitu " kata Koai Thian Cu seperti kepada diri sendiri, akan tetapi kata ­katanya ini mendatangkan rasa seram kepada yang mendengarnya, apalagi bagi mereka yang sudah mengenal betapa jitu ramalan-ramalan kakek ini.

Karna pintu sudah terbuka dan orang-orang tua itu masih juga belum bergerak,hal ini menim bulkan ketidak sabaran dua orang laki-laki setengah tua yang pakaiannya seperti guru silat.

Memang mereka ini adalab guru-guru silat dari sebelah utara Bukit Kui San.Mereka lalu melom­pat memasuki pintu menara dengan gerakan gesit dan teratur, saling melindungi dan tentu saja kepandaian rnereka sudah tinggi, kalau tidak demikian, selain tak mungkin mereka bisa sampai di tempat itu, juga kalau tidak pandai mereka tak­kan berani mengganggu Kim-hud-tah.

"Sudah mulai.... sudah mulai....." kata Koai Thian Cu,berseri-seri wajahnya seakan-akan seo­rang bocah menjadi gembira menonton pertunjukan yang menarik dimulai , Dua orang guru silat itu memasuki pintu menara yang gelap dengan langkah seperti harimau - harimau mengintai korban, tangan kiri siap menjaga di depan dada, tangan kanan meraba gagang golok yang tergantung di pinggang. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu.

Mereka melangkah terus dan tiba ruangan terbawah, di mana mereka melihat seorang hwesio tua yang berwajah angker duduk bersila di atas bangku, di dekatnya terdapat sebuah meja di mana terletak sebatang pelang yang meng­kilap.

Ruangan ini terang karena menerima cahaya penerangan dari luar melalui lubang-lubang di dinding atasnya. Inilah Gwat San Hosiang yang bertugas menjaga di bawah. la duduk bersila dengan maka tunduk seperti sedang semadhi.

Dua orang guru silat itu menyapu tempat itu dengan pandang mata mereka. Tidak ada patung emas di situ. Tentu ditingkat atas, pikir mereka saling pandang. Kesunyian ternpat itu mengejuttan hati, maka seorang di antara mereka berkata ke­pada hwesio itu, -

"Losuhu, kami dua saudara Kwee, kauwsu (guru silat) dati Tin-an-bun, sudah memasuki pintu menaral"

Gwat San Hosiang membuka matanya dan mengangkat muka tanpa menggerakkan tubuh. Kaget dua orang kauwsu itu kerika melihat se­pasang mata itu mengeluarkan pandangan tajam menyambar.

"Ji-wi-kauwsu datang ke sini mau apakah? Kim-hud-tah bukan tempat pelesir."

"Kami datang bukan mau pelesir, melainkan kendak meminjam patung emasl"

Gwat San Hosiang tersenyurn. "Kalian juga?"

Dengan muka rnerah, guru silat pertama ber­kata, nadanya membela diri,

"Losuhu, kami ber­dua adalah guru-guru silat yang mengandalkan nafkah hidup dari mengajar ilmu silat. Karena sckarang banyak sekali guru silat, maka kami harus mempunyai modal yang baik, dan modal guru silat hanya ilmu silat yang baik. Oleh karena itu maka kami hendak menarnhah kepandaian untuk djadikan modal."

"Hendak menambah kepandaian mengapa rnencari patung emas?" Kembali Gwat San Hosiang bertanya, masih tersenyum mcnyindir.

"Bukan patung emasnya yang kami butuhkan, melainkan isinya, kitab yang tarsembunyi di dalam patung itu. Patungnya boleh losuhu ambil kembali."

"Dari mana jiwi kauwsu tahu akan hal itu? Pinceng sendiri belum pernah membuka-buka pa­tung keramat itu. Sayang sekali, ji-wi kauwsu da­tang sia-sia. Patung emas itu tidak berada di dalam ruangan ini."

"Tentu berada di atas......" dua orang guru silat memandang ke arab tangga yang menuju ke atas.

"Jalan itu terlarang bagi semua orang yang datang dari luar, jiwi tidak boleh melalui anak tangga itu."

"Losuhu, harap losuhu duduk saja, tak usah repot-repot. Biarkan kami berdua seadiri yang akan mencari kitab itu dan terpaksa kami harus meminjam anak tangga itu untuk mancari ke alas."

Pedang Sinar Emas ( Kim Kong Kiam )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang