Sudah direvisi.
🌸
Proses belajar-mengajar telah berlangsung beberapa hari setelah kegiatan MOS berakhir. Semua murid baru sudah mulai belajar di kelas masing-masing. Hasil pengumuman tes jurusan juga telah keluar, dan Alika berhasil menempati kelas IPA sesuai pilihannya sejak awal. Ia memilih kelas IPA karena memang kemampuannya lebih condong di bidang itu.
Saat ini Alika sedang berada di dalam mobil bersama bunda untuk berangkat ke sekolah. Jika memiliki jam praktek pagi, Davina kerap kali menawarkan anaknya untuk diantar ke sekolah. Selain karena sekolah dan rumah sakit tempat ia praktek searah, menghabiskan waktu dengan anak gadisnya dalam perjalanan juga sesuatu yang menyenangkan untuknya.
Mobil yang dikendarai Davina berjalan dengan kecepatan normal. Ia sesekali melirik ke arah Alika yang sedang fokus bermain game di ponselnya. Gadis dengan rambut sepunggung itu begitu serius. Bibirnya mengerucut saat jempolnya salah sasaran dan ketika anak-anak rambutnya terjatuh menutupi wajah, ia meniup dua kali. Tidak pernah melepas tangan dari kendali pada ponselnya.
"Gimana sekolahnya, Dek?" tanya Davina. Kedua tangannya memegang kendali setir.
"Ya gitu, Bun." ucap Alika sekenanya. Fokusnya pada ponsel belum terbagi. Jari-jarinya masih menari-nari di atas layar.
"Kok ya gitu? Nggak ada yang menarik?"
Alika memperbaiki duduknya, "Menarik kok Bun."
"Ya siapa tahu kan kamu ada yang naksir gitu." Bunda bukan membebaskan anaknya berpacaran, namun Ia membolehkan anaknya mengenal yang namanya laki-laki yang tentu masih dengan batas wajar. Menurut Bunda, lebih baik anak dibebaskan pacaran agar ia tidak pergi sembunyi-sembunyi dari orang tua. Lebih baik ia mengetahui siapa yang dekat dengan anaknya daripada tidak sama sekali. Ya, perspektif orang memang berbeda-beda.
Alika menggeleng kencang, "Enggak mungkin."
Bunda menoleh sebentar ke arah Alika dengan kening berkerut. "Kenapa?"
"Aku punya bodyguard yang siap nerkam siapapun yang dekat sama aku. Kayak enggak tau Rasya Alnino aja." ucap Alika membayangkan tatapan tajam Nino kepada siswa-siswa yang beberapa hari ini mencoba mendekatinya.
"Abang emang gitu kan. Itu tandanya dia sayang banget sama kamu. Coba deh liat di luar sana, banyak juga loh seorang adik yang ingin diperhatikan oleh kakaknya tapi si kakak nggak pernah peduli," Tangannya terulur mengelus kepala putrinya, senyuman menenangkan melengkung di bibir Davina "percaya sama Abang, ya?"
"Iya Bun, Alika nggak masalah kok."
"Pinter."
Mobil kembali melaju, berbelok ke kanan setelah melewati lampu merah. Davina lumayan handal membawa mobil, namun masih dalam kecepatan yang wajar.
"Besok temenin Bunda belanja ya? Stok bulanan habis." pinta bunda.
"Si-Aaw." Tiba-tiba Alika memekik ketika mobil berhenti dengan mendadak dan ia hampir terdorong ke depan. Hampir saja dahinya terantuk dashboard mobil kalau saja tidak memakai sabuk pengaman. Akan tetapi, dadanya sedikit sakit karena tertarik tali sabuk yang masih terpasang.
"Aduh maaf sayang." Davina menoleh panik ke arah Alika.
"Enggak apa-apa, Bun." Ucapnya sambil melonggarkan tali sabuk pengaman. Mengusap dadanya yang sakit.
Mesin kembali dihidupkan. Tapi usahanya sia-sia karena sepertinya mobil ini tidak mau menyala. Hanya suara-suara sumbang yang tercipta lalu mati kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Brother Affects
Teen Fiction(Follow dulu, sebagian part akan diprivate.) "For once, I would be selfish to ignore our feelings. Although it hurting me, Hurting you, Which means, Hurting us..."