Part 42

2.9K 158 32
                                    

Happy Reading💙

🌸

"Kamu merasa bersalah sama apa yang dialami Alika sekarang atau merasa bersalah karena selama ini salah menilai orang?" Tanya Tasya tenang membuat Nino diam membatu menutup mulutnya rapat-rapat.

Nino membuang pandangannya ke sembarang arah selain wajah Tasya. Menghindari tatapan tenang namun memiliki arti dari gadis itu. Selalu seperti ini jika Nino bercerita bersama Tasya dengan serius. Perempuan itu akan menjadi dua kali lebih dewasa dari umurnya. Cara pandangnya yang objektif mampu membuat Nino selalu menjadikan gadis ini tempat untuk berkeluh-kesah.

Tasya mendesah berat. Ia merubah posisi duduknya agar lebih menghadap pada Nino, lalu menangkup wajah laki-laki itu menghadap dirinya. "Kamu nggak mau jawab, hm?"

Kebingungan Nino menjawab membuat ia masih membisu. Tasya menurunkan tangannya dan kembali bersuara. "Apa salahnya sih, mengakui kesalahan? Mengakui kekalahan nggak membuat jabatan kamu di team futsal dicabut, enggak juga membuat sabuk Taekwondo kamu berubah warna jadi putih, atau pun membuat kamu kalah dan berada jauh di bawah dia. Justru kamu menang, menang melawan ego kamu sendiri. Itu artinya, kamu udah dewasa dalam menyikapi masalah. And i am proud of it."

Terlihat Nino masih diam, namun sorot matanya melembut. Perlahan tatapan tajam itu meluluh. Tasya tersenyum, sepertinya akan mudah membuat Nino mengerti. "Aku pernah baca sebuah petikan, orang yang lebih mementingkan egonya, akan hancur karena egonya itu sendiri."

"Kamu ngerti apa maksudnya?" tanya Tasya. Nino berpikir sebentar, lalu mengangguk walau ragu.

"Kalau kamu ngerti, kamu mau nggak, sekali aja dengar nasihat aku?"

Nino mengangguk pelan membuat Tasya tersenyum lembut. "Mencoba berdamai dengan masa lalu itu jauh lebih baik daripada menyimpan dendam karena masa lalu itu sendiri. Allah aja yang pemilik bumi dan seisinya ini maha pemaaf kalau hambanya berbuat salah, masa kita hanya sesama hamba, tidak bisa memaafkan saudara kita? Masalah itu cobaan dalam persahabatan. Ada kalanya, persahaban itu di uji. Nah, giliran kita yang mengadapi masalah ini, bisa nggak kita menghadapi dengan lapang dada, atau lebih memilih pergi tanpa menyelesaikan masalah itu."

Penjelasan Tasya sedikit demi sedikit mungkin telah bisa diterima oleh Nino. Terbukti dari melembutnya tatapan laki-laki itu. Melihat respon Nino yang hampir meluluh, Tasya melanjutkan. "Kamu pernah tahu, nggak, kalian sebenarnya kenapa? Kamu, Elang, dan mungkin juga Gilang? Kamu pernah nggak mikir secara normal, selain pakai emosi, apa akar dari permasalahan kalian ini?"

"Pernah." sanggah Nino cepat. "Akarnya itu, karena Elang berubah jadi sering ke kelab malam, terus dengan tololnya Gilang ikutan sama Elang. Kamu tahu persis, aku sangat benci tempat itu." lanjutnya secara gamblang. Kembali terlihat rahang Nino mengeras.

Tasya menghela napas, tetap bersabar dengan sikap Nino yang masih dipenuhi oleh ego. "Alasan Elang sering ke kelab malam kamu tahu, nggak, kenapa?"

Nino berdiri, berjalan memunggungi Tasya. Pandangannya mengarah ke depan. Menatap jalanan depan rumah Tasya yang diselimuti pekatnya malam. "Alasannya udah jelas, kan? Karena dia termakan oleh pergaulan yang nggak bener itu. Dia lebih milih menyelesaikan masalahnya bersama minuman haram itu daripada sahabatnya sendiri."

Meski tahu alasan yang diucapkan Nino itu ada benarnya, Tasya tetap menggeleng. Walau sebenarnya Nino tidak melihat. "bukan, bukan itu..." Ia masih duduk di tempatnya. Hanya punggung tegap Nino yang terlihat.

Alis Nino terangkat sebelah. "Terus?"

"Kamu tentu punya alasan, kan, kenapa selama ini membenci kelab malam?"

My Possessive Brother AffectsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang