Sudah direvisi.
🌸
Matahari telah bersinar cerah mengintip dari celah-celah jendela.
Alika masih bergelung di kasur dengan semakin mengeratkan selimut ditubuhnya. Udara Bandung yang dingin di pagi hari ditambah suhu air conditioner membuatnya kedinginan. Namun, masih enggan bergerak hanya untuk sekedar mengambil remote control untuk air conditioner dan menekan tombol power off.
Ia telah terbangun lima menit yang lalu karena suhu dingin yang menusuk kulitnya. Namun matanya masih saja terpejam, seolah ada sesuatu yang menimpa hingga Ia sangat sulit membukanya. Ia masih dipengaruhi kantuk yang luar biasa karena semalam Ia habiskan untuk membaca novel dan Ia baru tertidur setelah pukul tiga pagi.
Suara ketukan dari pintu kamar diabaikan begitu saja. Sungguh, Ia sangat malas berkegiatan saat ini, bahkan hanya untuk membuka matanya dan bersuara memberi tahu seseorang di luar sana yang sedang mengetuk pintunya untuk berhenti karena telah terganggu.
Alika memang sengaja mengunci pintunya jika Ia akan tidur, katanya jika ada orang jahat yang masuk ke rumah, kamarnya tidak akan dijamah karena terkunci. Itu ajaran Ayah. Ia tidak mau terjadi sesuatu, sekalipun rumah ini telah dijaga oleh satpam, tapi mencegah lebih baik daripada mengobati bukan?
Tok tok tok
Ketukan itu terdengar lagi, bersamaan dengan suara Bunda yang memanggil namanya.
"Alika! Bangun! Ini udah jam sembilan!" teriak Bunda
Mau tidak mau ia harus membuka mata, mengerjap pelan menyesuaikan cahaya dengan kornea matanya. Ia masih belum bisa mengeluarkan suara. Setelah matanya telah terbuka, Ia bangun dan terduduk di kasur. Ia bahkan masih mengumpulkan nyawanya dan suara ketukan Bunda masih saja terdengar walaupun tidak sekeras tadi. Mungkin Bunda lelah. Tangannya menelusuri jam di nakas untuk mengecek pukul berapa sekarang. Ia mendengus melihat jarum jam yang berhenti di pukul delapan. Bunda memang selalu berlebihan.
"Alika ih! Bangun!" teriak Bunda lagi.
Mendengar suara Davina yang sebentar lagi akan merajuk, Alika buru-buru menjawab. "Iya Bunda, ini udah bangun."
Ketukan pun berhenti. Alika berjalan membuka pintu, menampakkan Bunda yang sedang berkacak pinggang. Ia berdiri di depan pintu, memakai piyama boneka beruang berwarna kuning. Tangan kanan memegang kenop dan kepalanya bersandar malas pada daun pintu
"Bunda ah, ini tuh hari minggu. Nggak usah gedor-gedor dong." rengeknya.
Bunda berdecak, "Kamu pasti lupa kan?"
"Lupa apa, Bun?" Alika kebingungan, matanya mengerjap masih mengantuk.
"Tuh kan! Kamu lupa. Makanya kalau orang tua ngomong itu dengerin." ucap Bunda.
"Astaga Bun, aku bingung ini. Lupa apa?" ucap Alika.
"Kamu kemarin janji kan mau nemenin Bunda belanja?" ucap Bunda.
Ingatan sebelum mobil Davina mogok berputar kembali. Alika langsung teringat obrolannya dengan Bunda kemarin. Ia menyengir bersalah, memukul pelan dahinya.
"Aduh mampus! Baper deh ini Nyonya besar!" ucap Alika.
"Kamu tuh ya! Ih Bunda bareng Abang aja kalau gitu." rajuk Bunda.
"Lah lah. Bunda baper? Bunda kayak ABG deh lama-lama. Baperan." ucap Alika sambil tertawa kecil.
Mendengar kata baper, Davina segera memasang wajah sebal. "Kamu yang baperan. Udah ih, kamu mandi. Bunda tunggu di bawah. Kamu ya anak gadis aja bangunnya siang. Kamu mau jodohnya datang telat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Brother Affects
Teen Fiction(Follow dulu, sebagian part akan diprivate.) "For once, I would be selfish to ignore our feelings. Although it hurting me, Hurting you, Which means, Hurting us..."