Sudah direvisi.
🌸🌸
Back to school...
Kembali lagi pada hari sekolah setelah melewati hari libur terberat, kemarin. Dan lebih berat lagi hari setelah hari Minggu, yaitu, Senin. Cobaan terberat di hari Senin itu, upacara bendera. All about berat.Upacara yang memakan waktu satu jam itu, membuat semua murid yang membayangkan saja sudah memasang tampang lusuh, kusut, seperti pakaian belum di seterika satu minggu.
Bagaimana tidak, matahari saat ini seperti sedang bersemangat unjuk gigi. Sama halnya dengan gadis yang sedang berjalan di lorong koridor saat ini. Ia sama sekali tidak menampakkan wajah kusut atau lusuh, melainkan wajah yang tak kalah bersemangatnya dengan matahari.
Gadis itu, Alika, berjalan dengan senyuman mengembang sambil sesekali bernyanyi mengikuti alunan musik yang keluar dari headset yang ia pasang di telinga, yang terhubung dengan ponsel di tangan kirinya. Tangan kanannya memegang tali tas ransel yang menggantuk di sisi tubuhnya.
Alika jalan dengan ringan dan santai. Seolah tidak ada beban di pundaknya. Orang-orang di sekitar yang melihat pun terhipnotis dengan keceriaan yang Alika tampilkan, sehingga mereka yang melihat wajah Alika yang terus-terus menampilkan senyum, seolah terkontaminasi dan ikut tersenyum.
Sampai di depan kelasnya, mendadak Alika menghentikan langkah ketika Tasya dan Gigi berdiri di depan pintu dan menatapnya seolah melihat alien memakai kebaya. Sangat aneh.
Tasya memegang pundak Alika dengan gerakan dramatis dan menyentuhkan punggung tangannya ke dahi Alika. Setelah memastikan, Tasya menoleh ke arah Gigi. "Nggak panas kok, Gi." ucap Tasya sambil geleng-geleng.
Gigi dengan muka super polos maju beberapa langkah menghampiri Alika dan Tasya. Ikut menyentuh kening Alika. Gigi menoleh dan angguk-angguk pada Tasya. "Iya, nggak panas kok, Sya. Tapi, kok ini anak jadi rada gila, ya?"
Ucapan Gigi sontak membuat Alika terbelalak dan segera menyentil dahi kedua sahabatnya. "Apa-apaan sih lo berdua?" Alika merapikan poninya dengan kesal. "Gue kenapa, ih?"
Tasya dan Gigi mengusap dahi berbarengan. "Ya habis, lo sih datang-datang muka lo ceria banget kayak habis menangin undian." ucap Tasya.
"Atau jangan-jangan lo habis dapet piring cantik nih, pasti?" celetuk Gigi.
Alika mengibaskan tangang di udara. "Sembarangan lo pada. Udah deh, gue pengen simpen tas gue dulu." Alika melewati Tasya dan Gigi lalu berjalan masuk ke dalam kelas dengan sangat riang.
Tasya dan Gigi sampai ternganga melihatnya. Beberapa menit kemudian, mereka bergidik ngeri. "Sya, temen lo kenapa?" ucap Gigi masih dengan tampang bodohnya.
"Gue nggak tau." Tasya geleng-geleng kepala. "Sepanjang gue kenal sama dia, baru kali ini gue liat dia sebegitu cerianya, Gi."
"Hm." Gigi manggut-manggut. "Lo nggak takut, Sya?"
"Takut kenapa?" kening Tasya mengerut, tanda bingung mengenai omongan Gigi. "Takut dia kesambet, gitu?" ucap Gigi.
"Ish..." Tasya merenggut tidak suka. "Gue pikir apaan. Nggak penting amat sih, lo!" ucap Tasya disusul toyoran di kepala Gigi.
Baru saja Gigi ingin mendumel, Alika bergabung di antara kedua sahabatnya dan langsung merangkul pundak mereka. Sontak mereka yang belum siap jadi terhuyung ke depan. "Aduh, Ka, gue kaget." omel Tasya saat jantungnya seperti akan lepas dari tempatnya.
Alika menyengir. "Hehehe... Gitu aja marah. Udah kayak ibu kos aja, lo." ucap Alika seraya melepas rangkulannya meninggalkan keduanya di belakang, tanpa mendengar lagi ocehan Tasya dan Gigi.
Mereka berjalan menuju lapangan upacara. Alika yang sepertinya sangat semangat berjalan, tidak melihat ada orang yang berbelok dari lorong sebelah kanannya. Jadilah mereka bertubrukan dan Alika terhuyung ke samping. Beruntungnya, orang yang menabrak Alika itu dengan sigap menarik tangan Alika hingga ia tidak jadi terpental mengenaskan di lantai.
Alika menunduk menatap tangan orang yang memegang lengannya. Kalau di lihat dari tangannya, ia seorang laki-laki. Alika memberanikan diri mendongak menatap orang yang ada di hadapannya.
Mata alika membelalak kaget, sontak langsung melepas pegangan tersebut setelah melihat senyum jahil laki-laki itu. "Hai... Ketemu lagi kita." ucap Bagas dengan cengiran.
"Gue pikir siapa, elah." ucap Alika tidak bisa menyembunyikan raut kesalnya. Bagas malah tertawa menanggapi. "Ya lo berharapnya siapa?"
Alika tidak menanggapi lagi. Ia segera memungut topinya yang terjatuh di lantai. "Gue ke lapangan dulu ya, kak." ucap Alika semanis mungkin.
"Siap, adik manis..." ucap Bagas dengan suara menjijikkan. Alika berjalan cepat sambil bergidik ngeri.
Tasya dan Gigi yang memperhatikan interaksi mereka hanya bisa terdiam, lalu melanjutkan jalan setelah melihat Alika yang telah berjalan jauh.
"Temen lo kenapa sih hari ini, Sya?" tanya Gigi dengan tampang begonya.
"Nggak tau, Gi. Gue juga bingung."
🌸🌸
Setelah upacara selesai, Alika dan kedua sahabatnya berniat membeli minuman untuk menyegarkan tenggorokannya yang kering. Masih ada waktu beberapa menit untuk membeli minuman di kantin sebelum guru mata pelajaran selanjutnya masuk.
Mereka berjalan beriringan menuju kantin. Sesekali, Alika membalas sapaan kakak kelas yang memanggil namanya, basa-basi menanyakan kabarnya dan ujungnya pasti menanyakan Nino. Modus banget.
Belum sampai di depan pintu masuk kantin, Alika berpapasan dengan Elang dan sahabat-sahabatnya. Alika menatap sebentar ke arah Elang, lalu membuang pandangannya lurus ke depan. Tidak menghiraukan muka tercengang sahabatnya untuk ke sekian kali.
Elang sampai terbelalak. Ia melemparkan senyuman ke arah Alika, yang hanya menatapnya datar kemudian membuang muka. Tatapan Elang mengikuti Alika yang lewat di depannya, lalu berjalan menjauh dan hilang di balik pintu pembatas kantin.
Alexi dan Arkana ternganga dengan tidak tahu malu. Rahangnya terbuka lebar seperti ingin jatuh ke lantai. Hanya Gilang yang menatap datar dengan alis terangkat. Matanya menyiratkan seolah tebakannya benar. Hal ini suatu saat akan terjadi.
Elang buru-buru tersadar dari keterkejutannya. Ia segera berdeham menyadarkan kedua sahabat Alika yang berdiri mematung. Ia melempar senyum pada Tasya dan Gigi.
Kedua gadis itu membalas dengan senyum tidak enak. Sepertinya, ada yang salah dari sahabatnya. Mereka harus memastikan sesuatu. Harus.
"Em.. Maaf ya, kak. Dari pagi Alika emang aneh banget kelakuannya." Tasya merasa bersalah. Tidak seharusnya sahabatnya melakukan seperti itu. "Nggak apa-apa, kok. Mungkin dia lagi halangan." Elang meyakinkan dengan senyuman.
"Kita nyusul Alika dulu, ya, kak?" Tasya dan Gigi buru-buru pamit melangkah dari hadapan Elang dan sahabatnya. Menyusul Alika yang ternyata telah berdiri mengantre di depan kios minuman.
"Lo gila! Lo kenapa, sih?" gerutu Tasya setelah sampai di hadapan Alika.
Alika hanya menatap datar. "Gue kenapa?"
"Tadi itu Elang, Ka! Elang! Lo kenapa cuekin gitu aja?" tanya Gigi menggebu.
Alika memutar bola mata malas. "Ya emang kenapa? Gue harus apa emang saat Elang ada di depan gue? Gue sembah?" Alika tertawa sumbang. "Ngaco lo pada."
Tasya dan Gigi menggeleng-gelengkan kepala secara dramatis. "Lo aneh, Ka." Tasya merebut gelas minuman yang baru saja diterima Alika. Ia meminum dengan rakus. Kelakuan Alika hari ini berhasil menguras emosinya.
"Kita lanjut nanti, gue belum selesai." Tasya menyerahkan gelas minuman tersebut pada Gigi. "Minum, habis itu kita ke kelas. Gue bisa gila ngadepin Alika."
Alika menatap nanar gelas minumannya yang hampir saja tandas. Lalu Gigi menyerahkan gelas itu ketika isinya hanya tinggal beberapa tetes saja. "Nih, mayan buat ngebasahin tenggorokan lo." ucap Gigi kemudian meninggalkan Alika dengan tidak merasa bersalah.
"Iya, gue memang udah gila." lirih Alika ketika kedua sahabatnya telah berlalu dari hadapannya.
🌸🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Brother Affects
Teen Fiction(Follow dulu, sebagian part akan diprivate.) "For once, I would be selfish to ignore our feelings. Although it hurting me, Hurting you, Which means, Hurting us..."