Part 17

4.3K 277 16
                                    

Sudah direvisi.

🌸

Alika sedang menatap pantulan dirinya di cermin meja riasnya. Bekas tamparan Clara masih tercetak jelas di sana. Dahinya masih berdenyut. Mendesah pasrah. Berjalan menuju pintu dan menguncinya, kemudian melangkah lagi ke arah lemari untuk mengambil sepotong kaos dan leggingnya. Ia harus mengganti baju seragam yang telah kusut dan bau keringat di badannya .

Jika boleh diakui, tamparan itu memang sangat keras yang Alika yakin Clara melakukannya dengan segenap jiwa dan raganya. Belum lagi dahinyabyang terbentur. Sebenarnya, Clara tidak berniat mendorongnya ke tebok. Hanya saja Alika yang limbung akhirnya jadi terdorong ke tembok.

Setelah berganti pakaian, Alika melangkahkan kaki menuju wastafel di kamar mandi untuk membasuh mukanya, yang penuh dengan debu tak kasat mata dan juga membasuh luka di wajahnya.

Mengambil handuk kecil untuk mengeringkan wajahnya. Ia kembali meringis ketika tidak sengaja menyentuh keras bagian yang luka tersebut.

"Sshh.. Sakit banget." Alika menutup matanya menahan perih.

Tok tok tok

Terdengar suara ketukan pintu. Alika berjalan terseok menuju pintu, memutar kunci dan membuka pintu yang langsung menampilkan wajah khawatir Bundanya. Bunda sudah menerima kabar dari Nino jika Alika menjadi korban bully di sekolah.

"Ya ampun Alika!" pekik Bunda langsung menyentuh wajah Alika yang sangat kelihatan perbedaannya antara bagian kiri dan kanan.

"Aw.. Aw.. Bunda sakit." rengek Alika ketika Bunda dengan tidak sengaja menyentuh lukanya.

Bunda meringis, "Aduh maaf sayang, sakit ya?" ia menarik Alika untuk duduk di ujung tempat tidur, "Duduk dulu, Bunda obatin."

Bunda mencari kotak P3K yang tersedia di setiap kamar di rumah ini. Bunda membuka laci nakas dan menemukan apa yang ia cari, kemudian kembali duduk di samping Alika.

Meneliti cetakan luka yang ada di wajah anaknya, tidak parah namun jika tidak diobati bisa membekas. Bunda memulai dengan mengambil kapas dan obat merah.

"Ini kok bisa? Gimana ceritanya?" tanya Bunda. "Abang nggak mau cerita, marah banget dia."

Menghela napas pela, Alika menceritakan kembali kejadian yang menimpanya dari awal. Sejak MOS berakhir, Alika selalu merasa diperhatikan oleh seseorang. Hingga sampai saatnya orang itu benar-benar memperlihatkan ketidaksukaannya pada Alika.

Sejak kejadian di lapangan, saat Clara melabraknya pertama kali, dan kejadian tadi di sekolah.

Ia juga menceritakan sikap Nino pada Clara yang mungkin membuat cewek itu berbuat nekat padanya. Nino begitu dingin, tidak bisa digapai, selalu mengabaikan sesuatu yang sengaja dibuat oleh Clara untuk menarik perhatiannya.

Semua tak luput dari cerita Alika. Bukan ingin memperkeruh suasana untuk membuat Bunda marah dan menuntut cewek itu, karena Alika yakin setelah ini Bunda tidak akan mempermasalahkan ini lebih jauh lagi.

"Kamu tahu sendiri kan abang kamu kayak gimana?" ucap Bunda, masih dengan mengobati luka Alika dengan sentuhan terakhir memakaikan gel penghilang memar.

Alika mengangguk, "Aku ngerti, Bun. Tapi, Clara nggak sepenuhnya salah. Sepertinya dia udah terlalu capek buat cari perhatian Abang tapi nggak digubris. Sementara aku, yang notabene baru masuk sekolah itu, terus tiba-tiba jadi dekat sama Abang yang poinnya mereka nggak tau aku adiknya Bang Nino. Mungkin menurut dia, kalau aku dekat sama Bang Nino, itu lebih menghalangi usahanya dia buat terlihat sama Abang, Bun."

My Possessive Brother AffectsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang