Sudah direvisi.
🌸🌸
Setelah pertengkaran Elang dan Nino, Alika lebih banyak berdiam diri di kamar untuk menangkan dirinya. Gejolak di dadanya sejak kemarin meronta meminta dikeluarkan melalui air mata. Ia menangis setelah Nino berbicara padanya Gue nggak pernah tahu, kalau jatuh cinta akan sesakit ini.
Dari pertengkaran Nino dan Elang kemarin, Alika mengambil kesimpulan bahwa masalah yang mereka hadapi cukup sulit. Tapi yang Alika tidak mengerti, mengapa abangnya sangat tidak suka dengan pergaulan Elang yang suka keluar masuk klub malam.
"Oke, itu emang salah. Klub malam itu bukan tempat untuk anak sekolah. Tapi, kenapa abang sampai segitunya, sih sama Elang? Abang bukan orang yang gampang menjudge sesuatu juga. Dan Abang bukan orang yang gampang emosian." Alika bermonolog.
Setelah pembicaraan di depan kamar, Alika tidak keluar lagi karena menangis terus-menerus. Bahkan semalam, ia sengaja tidak keluar kamar untuk makan malam dengan alasan sedang tidak enak badan pada bunda. Alhasil, bunda lah yang membawakannya makanan ke kamar. Ia mengetahui jika kedua anaknya memiliki masalah, maka bunda memaklumi tanpa banyak bertanya.
Tapi saat ini, tidak ada alasan lagi bagi Alika menghindar dari Nino. Toh, kalau Nino marah, ada ayah dan bunda yang membantunya. Jadi Alika memutuskan turun ke ruang keluarga untuk menonton kartun kesukaannya yang tayang setiap hari minggu.
Gadis itu berusaha melupakan kejadian yang terjadi kemarin. Bertingkah seolah semua biasa saja. Ia tidak akan lama-lama mendiami Nino. Ia tekan dalam-dalam perasaan sesaknya kemarin. Kembali menjadi Alika sebelum ini semua terjadi.
Langkah kakinya menuruni satu per satu anak tangga. Pada anak tangga terakhir, samar-samar ia mendengan suara percakapan antara dua orang laki-laki dari arah ruang tamu. Alika memicingkan matanya, mengira-ngira siapa yang datang ke rumah sesubuh ini.
Ah... Pukul sepuluh masih boleh dikatakan subuh, ya?
"Menurut gue ini masih subuh.." gumam Alika.
Alika berjalan menuju sofa di ruang keluarga. Suara orang bercakap itu semakin jelas. Alika menegang. Itu suara Nino. Tapi... Dengan siapa Abangnya itu berbincang?
"Paling Mang-mang bakso." Alika mengendikkan bahu. Ia meraih remote di atas meja, mengganti siaran tv yang sudah menyala dari tadi. Sepertinya Nino tadi sedang menonton tv ketika tamunya datang.
Sedang asik-asiknya menonton, Alika mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya. Semakin dekat, sampai orang itu kini berada di belakangnya. Sepertinya ia belum menyadari kalau Alika ada di sana.
"Lo nonton aja dulu sambil nunggu gue ganti baju. Bentar doang." ucap Nino.
"Oke, bro." ucap orang yang sedang bersama Nino.
Arah mata Alika mengikuti Nino berlari kecil menaiki anak tangga. Sepertinya Nino masih tidak menyadari keberadaannya. Bagas jalan menuju sofa, ketika dia ingin duduk, ia dikejutkan oleh kehadiran Alika yang seperti tenggelam di atas single sofa yang lebih besar dari tubuhnya.
"Astaga. Gue pikir enggak ada orang." ucap Bagas mengelus dadanya.
Alika cengengesan. Ia menegakkan duduknya. "Hehe Maaf. Silahkan duduk, Kak." Gue pikir Mang-mang bakso...
Bagas duduk di seberang sofa yang diduduki Alika. "Nggak usah manggil kakak. Panggil Bagas aja. Gue nggak suka senioritas."
"Gitu ya?"
"Iya. Biar lebih akrab." ucap Bagas menampilkan senyumnya.
Menimbang-nimbang sebentar, Alika kemudian menggeleng. "Enggak ah. Manggil kakak aja." Cuma Elang yang boleh gitu sama gue, lo nggak usah. Batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Brother Affects
Teen Fiction(Follow dulu, sebagian part akan diprivate.) "For once, I would be selfish to ignore our feelings. Although it hurting me, Hurting you, Which means, Hurting us..."