Part 43

3.8K 171 18
                                    


Happy Reading💙

🌸

"Kalau gue suruh lo, untuk pisah sama Alika, lo mau?" tanya Nino, yang kemudian membuat jantung Elang mencelos jatuh ke perut. Seperti ada sebuah tangan yang menghantam tepat pada dada Elang. Rasanya sesak, perih, hingga sulit rasanya untuk bernapas maupun hanya sekadar menarik napas.

Elang memaksa menatap Nino yang sedang menatapnya dengan alis terangkat. Sungguh demi apapun di dunia ini, wajah Ninosaat ini tidak semenyeramkan terakhir kali laki-laki itu memintanya untuk meninggalkan Alika. Tapi mengapa sekarang sakitnya lebih dua kali lipat menyiksa dari yang terakhir kali.

Tarikan napas dalam, dilakukan Elang untuk memenuhi rongga dadanya yang sesak. Untuk beberapa detik yang lalu, Elang sampai lupa caranya bernapas. satu tarikan napas panjang itu tidak membantu, disusul tarikan kedua dan seterusnya. Namun, tetap saja. Dada Elang masih saja merasakan perih itu. Bahkan semakin nyata.

Gilang yang berada di samping Nino dan Elang hanya bisa menahan napasnya. Ia mengerti kesakitan yang sedang di rasakan oleh sahabatnya. Ia mencoba angkat suara, "No, gue pikir kalau-"

Ucapan Gilang terhenti saat Elang mengangkat tangan, memberi kode agar sahabatnya itu berhenti berbicara. "Sorry," ucap Elang menurunkan tangannya pelan. Ia menatap ke arah Nino dengan pasti. "Biar gue yang atasi sendiri."

Sebelah bibir Nino terangkat, menciptakan senyuman tipis yang meremehkan. Umpannya tepat sasaran.

"Kenapa gue harus pisah sama Alika?" tanya Elang menantang. Tubuhnya telah dialiri rasa panas.

"Karena gue ingin?"

Elang berdecak. Emosinya kembali tersulut. "Oh... jadi ini alasan lo, ngajakin gue sama Gilang baikan?"

Nino kembali tersenyum. "Ini nggak ada sangkut pautnya dengan permintaan maaf gue."

"Jadi?"

Tangan Nino terlipat di atas dada. "Karena gue ingin, adek gue fokus sekolah dulu."

Decakan kesal tak bisa ditahan oleh Elang keluar dari mulutnya. "Gue nggak akan ganggu sekolah Alika."

"Who knows?" Nino mengendikkan bahu, punggungnya bersandar pada sandaran sofa. "Apa susahnya, sih, putusin Alika?"

Erangan frustasi lagi-lagi meluncur dari bibir Elang. Tangannya mengusap rambutnya ke belakang kepala. Jelas sekali wajahnya kini menunjukkan keputus-asaan. "Sumpah... lo boleh ngelakuin apa aja sama gue, No. Asal jangan suruh gue putus dari Alika. Sorry, gue nggak bisa."

"Apa yang buat lo nggak bisa?" Nino masih saja memancing Elang.

"Cinta gue." Jawab Elang yakin.

Lagi-lagi, Nino tertawa meremehkan. "Sejak kapan, sih, lo ngomongin cinta?"

"Alika beda." Elang membuka suara. Tidak menggubris pertanyaan Nino.

"Beda gimana maksud lo?"

"Ya beda aja. Gue nggak mau menyebut alasan apa aja yang buat gue suka sama Alika, karena gue nggak tahu. Mungkin alasan klasik yang selalu orang-orang omongin kalau lagi jatuh cinta."

"Awalnya kalau gue denger itu dari orang-orang yang mungkin mereka lagi jatuh cinta, gue anggap itu hanya sebuah banyolan, sebuah kata-kata lebay untuk menarik perhatian pasangannya biar mereka luluh. Tapi, saat gue sendiri yang rasain itu, gue rasa itu semua bukan lagi sebuah kata-kata klasik. Itu beneran nyata. Apa yang gue lihat dari Alika, yang menurut gue berbeda dari orang-orang lain, itu emang bener. "

"Tapi kalau lo atau Gilang yang gue suruh untuk lihat perbedaan itu, lo nggak akan nemuin. Karena lo berdua melihat itu nggak dengan cinta. Kalau gue, gue melihat itu bukan cuma pake mata gue, tapi pake hati. Hati gue yang lihat, hati gue yang merasakan. Mungkin kalau orang bilang, cinta nggak butuh alasan, gue setuju. Karena gue emang nggak tau, apa yang gue suka dari alika. Soal cantik, kah? Soal hatinya, kah? Atau soal kepribadiannya dia? Yang gue tahu, gue udah jatuh sama pesonanya Alika."

My Possessive Brother AffectsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang