Part 18

3.9K 256 19
                                    

Sudah direvisi.

🌸🌸


Melihat punggung Clara yang menjauh meninggalkan meja mereka, Alika menghela nafas pelan. Setelah berbicara empat mata dengan Clara, ia jadi tahu alasannya berbuat seperti itu. Sejujurnya, ia merasa kasihan terhadap kakak kelasnya itu. Tapi, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa terhadap perasaan Nino.

Matanya mencari keberadaan Elang yang katanya akan mengawasi dari jauh. Ia belum berpindah tempat, masih duduk di mejanya dengan segelas vanila latte yang sudah tinggal setengah dan sepotong red velvet cake di atas meja. Ternyata Elang di sana, duduk di meja paling pojok. Sepetinya memang ia berusaha untuk tidak terlihat.

Laki-laki itu berdiri, melangkahkan kakinya mendekat pada Alika. Ia menyunggingkan senyum tipis. Raut wajahnya kelihatan lega. Ia mengambil duduk di depan Alika, tempat Clara sebelumnya.

"Clara ngomong apa?"

"Dia minta maaf."

Mata Elang membulat. Sejak kapan Clara mau menjatuhkan harga dirinya untuk meminta maaf terhadap seseorang? Adik kelas pula.

"Beneran dia cuma minta maaf?" tanya Elang.

Alika mengangguk. "Beneran kok. Dia aslinya baik, tapi karna Bang Nino yang super cuek yang buat kak Clara seperti itu."

"Nino emang dari dulu sih dikejar sama Clara, dan dia emang nggak pernah ngerespon itu semua."

"Kasihan banget, tahu. Gue nggak tahu kenapa hati Abang sebatu itu."

"Mungkin ada alasan?"

"Sebenarnya, dia nggak suka dikejar. Paling nggak suka kalau ada orang yang caper sama dia apalagi sok akrab."

Elang tertawa kecil. "Dia emang nggak suka kalau ada cewek yang sok akrab. Kalau bisa menjauh sejauh-jauhnya."

"Kok lo tahu? Katanya musuhan?"

Ditanya seperti itu Elang jadi terdiam. Tangannya bergerak-gerak di atas meja. Matanya masih menatap lurus tepat pada mata Alika. Mencari jawaban yang tepat.

"Kan kata orang, yang paling tahu segala tentang kita biasanya musuh, Ka." Kata Elang seraya terkekeh.

"Bisa aja lo."

"Tapi sampai sekarang gue masih bingung." Elang memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. Dua tangannya terlipat di atas meja. "Lo kenapa tutup-tutupin kalau kalian saudara?"

Alika menyelipkan rambut ke belakang telinga. Berdeham sebelum menjawab. "Karena, gue sok ide aja."

Elang tertawa geli. "Dih? Serius."

"Serius banget. Awalnya, waktu SMP semua orang tahu kalau gue adik bang Nino. Jadi kalau ada yang mau menyampaikan salam atau perasaannya mereka, selalu lewat gue. Gue muak banget, secara kayak hampir setiap hari. Padahal kan kita masih SMP. Gue belum sama sekali pikir cinta-cintaan. Jadi gue pikir apaan sih, ini orang?

Jadi, mulai lulus sekolah kemarin gue jadi mikir, jangan-jangan SMA lebih ngeri dari SMP. Secara mereka lebih paham soal cinta-cintaan. Gue sok ide aja untuk bilang sama bang Nino nggak perlu kelihatan kalau kita saudara. Biar hidup gue tentram. Eh ternyata kejadiannya kayak gini." Kata Alika menjelaskan. Ia tertawa kecil di akhir ceritanya.

"Ternyata cewek-cewek SMA lebih menyeramkan."

"Iya. Tapi gue enggak, karena gue juga sekarang SMA."

"Lo hebat, tahu."

"Kok hebat?"

"Gue kemarin lihat waktu Clara labrak lo. Kalian sangat berani padahal masih kelas sepuluh. Nggak pernah ada yang nantangin Clara."

My Possessive Brother AffectsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang