Sudah direvisi.
🌸
"Jadi... Alika itu, adiknya Nino?" itu kalimat pertama pemecah keheningan beberapa menit yang lalu. Dan Alexi, yang kadar keingintahuannya lebih tinggi dari teman-temannya yang melontarkan pertanyaan itu. Mereka sedang berada di koridor depan perpustakaan, tempat yang sangat sepi oleh pengunjung.
Setelah tadi mereka mendengar semua, mengenai Nino yang kakak dari Alika, dan melihat Nino menggotong Alika menuju UKS, belum ada yang bersuara satu pun. Menunggu ada yang buka suara lebih dulu.
Arkana bangkit dari bangku yang ia duduki, "Gue nggak nyangka," ucapnya dengan menggeleng takjub. Lalu pandangannya beralih pada Elang, yang masih diam dengan segala pemikiran yang bercokol di kepalanya. Arkana menyenggol lengan Elang. "El, lo salah, bro."
Elang menghela nafas. Pikirannya kembali pada beberapa hari ini, di mana ia menjauhi Alika. Alasannya jelas, ia tidak mau mengganggu hubungan Alika dan Nino, yang ia kira merupakan pasangan kekasih seperti dugaan orang-orang. Ia juga tidak ingin tersakiti, memilih menekan rasa itu dalam-dalam walau hal itu lebih menyakitkan.
"Gue nggak tahu sama sekali. Makanya gue kemarin kayak..." ucapan Elang menggantung enggan melanjutkan. Tanpa diperjelas pun teman-temannya sudah tahu kalau ia melakukan hal bodoh.
"Jauhin Alika? Anggap seolah nggak kenal?" tebak Gilang. Ia tidak pernah berbicara, namun sekalinya bicara, itu akan pas kena sasaran.
"Lo selalu bener, bro." Arkana terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak Gilang. "Kemarin kayaknya Alika mau ngomong, tapi lo seolah-olah kayak menghindar. Lo nggak tahu mukanya sesedih apa kemarin pas lo tinggal gitu aja." Arkana tidak bohong. Memang seperti itulah raut Alika kemarin.
Gilang ikut terkekeh. Hanya pelan, dan tipis. Karena setelah itu, ia kembali dengan wajah datarnya. "Bego banget. Dia pasti mau kasih tahu kalau dia sama Nino saudara."
"Tapi kenapa?" Ada makna dari pertanyaan Alexi, seolah pertanyaan itu mengganggunya. "Maksud gue, kenapa dia nggak mau ngaku kalau Nino itu kakaknya? Apa mungkin mereka punya masalah?"
"Nggak mungkin." Arkana menggeleng sambil menerawang sebentar. "Dari apa yang kita lihat selama ini, mereka baik-baik aja. Bahkan lebih dari baik kok."
"Terus?" Sepertinya pembahasan ini menarik untuk mereka. Ini mengenai Alika, yang mereka sudah ketahui sebagai perempuan yang Elang sukai. Walau Elang tidak pernah mengatakannya, namun mereka tahu, Elang memiliki perasaan lebih.
Elang bukan seorang laki-laki yang bisa berbohong terhadap sesuatu, apalagi perasaannya. If he say yes, it mean yes. Itu yang mereka ketahui. Jika ia suka, ia akan memperlihatkannya melalui perbuatan, bukan kata-kata. Elang bukan seorang yang akan berpikir lama untuk memastikan apakah ia benar suka, atau tidak. Karena dari yang mereka lihat sebelumnya, Elang akan langsung menolak perempuan yang bukan kriterianya.
Baru kali ini mereka melihat Elang bertindak dan melakukan sesuatu terhadap lawan jenisnya, yang mereja sudah pasti menduga, Elang sedang jatuh cinta.
Gilang melirik ke arah Elang. Sepertinya, laki-laki itu sedang memikirkan sesuatu. Gilang bisa melihat dari ekor matanya, Elang gelisah.
"Lo kenapa?" tanya Gilang.
Elang menghembuskan nafas pelan. "Gue mau nengokin Alika di UKS, tapi... Nino. Gue nggak yakin dia bakal izinin gue tengokin adiknya." Elang mengubah posisi duduknya berdiri. Berjalan mundar-mandir.
Satu permasalahan; Nino. Rasya Alnino, rival mereka. Gilang manggut-manggut, "Lo tunggu aja dulu. Nino pasti keluar. Jangan ambil risiko buat temuin Alika sekarang. Di depan Nino langsung."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Brother Affects
Teen Fiction(Follow dulu, sebagian part akan diprivate.) "For once, I would be selfish to ignore our feelings. Although it hurting me, Hurting you, Which means, Hurting us..."