Part 32

2.6K 174 27
                                    

Sudah direvisi.

🌸🌸

Setelah melaksanakan sholat maghrib berjamaah, dilanjut makan malam bersama dengan sedikit berbincang mengenai bagaimana dan apa saja yang telah dilakukan anaknya hari ini, Bunda ditemani Alika sama-sama membereskan meja makan dan Bibi yang mencuci alat makan yang kotor.

Alika berjalan menuju lemari gantung setelah pekerjaannya selesai dan mengambil sebuah mug berwarna biru bertuliskan "Alika's" dengan gambar karakter Stitch di sisi lainnya. Ia lalu membuka lemari di sebelahnya untuk mengambil sebungkus bubuk cokelat kesukaannya.

Bunda yang melihat Alika sedang membuat minumannya kemudian mengambilkan sekotak cookies dari dalam lemari. "Nih, pasangannya minuman kamu." kotak itu kini berpindah di hadapan Alika.

"Hm.. Makasih, Bun." Alika menampilkan senyuman khas pada Bundanya, lalu kembali menunduk menatap cokelat panasnya yang sedang ia aduk. "Aku ke kamar ya, Bun?" ia memeluk kotak cookies di tangan kirinya, dan membawa mug di tangan kanannya.

Bunda memperhatikan, seharian ini Alika hanya diam. Tidak terlalu menanggapi atau merespon orang yang sedang berbicara di sekelilingnya. Bahkan ia tidak memperhatikan kegiatan apa yang sedang berlangsung. Ia lebih banyak diam dan menghayal. Bunda membiarkan saja. Ia percaya, ada saatnya Alika akan bercerita mengenai masalahnya.

Dengan sedikit kesusahan, Alika berjalan pelan menuju kamarnya. Berusaha untuk tidak membuat cokelat panasnya tertumpah atau mengenai tangannya. Setelah sampai di kamar, Alika meletakkan bawaannya lalu menghela napas panjang.

Tujuannya saat ini sudut kamar yang selalu menjadi tempat ia berdiam diri. Ditemani segelas cokelat panas dan cookies buatan Bunda, Alika menghempaskan tubuhnya di kursi gantung yang selalu menjadi tempat pribadinya. Ia menghela napasnya kembali.

Alika merasa, hari ini ia seperti sangat kelelahan dalam melakukan apapun. Seperti sedang ada yang bertumpu di bahunya. Membuat deru napasnya melambat. Seolah, sesuatu yang besar sedang menghimpit dadanya.

Alika paham betul berasal dari mana perasaan asing ini. Ia juga sadar, keputusan apa yang telah ia sepakati dengan dirinya sendiri. Tapi yang tidak ia duga, ternyata rasanya sesakit ini. Let go of something, which have not even holding of.

Alika sadar betul resiko yang sedang ia hadapi.

Resiko yang telah ia dapat, dari penghianatannya pada diri dan perasaannya sendiri. Yang menyakiti dirinya, juga orang yang ia cintai. Huh, betapa munafiknya ia. Berkata tidak cinta, saat hatinya meronta pada mulutnya yang membual.

Dadanya sesak. Himpitan pada dadanya semakin terasa menjadi. Alika kesusahan menarik napas. Semakin ia menarik napas, semakin rasa sakit di dadanya menjalar hingga membuat matanya memanas. Alika benci ini. Ia benci menyesali sesuatu yang telah terlambat untuk disesali.

Alika tidak berdaya. Menyakiti laki-laki yang selama ini mengisi hatinya membuat ia semakin terluka. Seperti membuat lubang di dalam dadanya, meremasnya dengan kuat menggunakan tangannya sendiri.

Air matanya menetes. Mengalirkan segala penyesalan yang bahkan telah sia-sia ia lakukan. Alika benci mengakui jika ia sakit melakukan ini semua. Betapa ia ingin mengakui perasaannya pada Elang sore tadi, tapi, semua seolah tertinggal di tenggorokannya.

Tenggorokannya tercekat ketika harus mengatakan jika apa yang selama ini ia lewati bersama Elang, salah diartikan oleh laki-laki itu. Bukan, bukan itu yang hatinya inginkan. Andai hati bisa berteriak begitu kencang, sudah dipastikan hati Alika telah keluar dari tempatnya, melayang di hadapan wajah Elang dan berteriak sekencang-kencangnya jika ia mencintai laki-laki itu juga.

My Possessive Brother AffectsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang