Sudah direvisi.
🌸🌸
"Menjauh dari adik gue."
Rahang Elang mengeras mendengar satu kalimat yang terlontar seenaknya dari mulut Nino. Ia mengepalkan kedua tangan yang bebas di samping tubuhnya sampai buku-buku jarinya memutih.
Senyum sinis terbit di wajahnya. Ia menatap tajam tepat ke mata Nino, yang juga menatapnya tak kalah tajam. "Atas dasar apa lo ngelarang gue dekat sama Alika?"
"Alika adik gue, kalau lo lupa." ucap Nino mengingatkan.
Elang tertawa meremehkan. "Jadi lo akan selalu mengatur dengan siapa adik lo berteman?"
"Ya." jawab Nino lantang. Satu tangannya ia masukkan ke saku celananya. "Gue selalu mengatur cowok yang mana, yang pantas jadi temannya. And she didn't mind."
"Apa pernah lo tanya, apa dia nggak masalah dengan itu? Apa dia bahagia digituin?"
Nino menampilkan senyum sinis. "Tau apa lo soal kebahagiaan adik gue?" suaranya masih tenang. Namun bisa dilihat dari kepalan tangan dan rahangnya yang mengeras pertanda ia sedang menahan mati-matian emosi yang siap kapan saja meletup dalam dadanya.
"Gue belum lama kenal dengan Alika. Tapi gue tahu, dia tertekan dengan sikap protektif lo." ucap Elang.
"Apa dia yang ngomong sendiri?"
"Gue lihat dari wajahnya."
"Nggak usah sok tahu."
"I talk the truth."
Suara tawa keras lolos dari bibir Nino. Ia menatap nyalang ke arah Elang, dengan sorot mata yang seperti ingin menembus kepala laki-laki itu. "Sudah berapa kali lo sering jalan sama adik gue?" tanyanya to the point.
Elang menampilkan senyum miring "It's been a few times. Dan lo nggak tahu, kan?"
Lepas sudah kendali Nino terhadap emosinya. Ia berjalan cepat ke arah Elang dengan kemarahan yang memuncak di dadanya, yang sudah siap tersembur dan dilampiaskan pada samsak hidup bernama Elang.
Nino telah berdiri tepat beberapa senti di hadapan Elang, ia menarik kerah leher kaus laki-laki itu dan mencengkramnya dengan keras. Dengan emosi yang menggebu, ia berbicara tepat di depan wajah Elang. "Berani-beraninya, lo?!"
Elang masih berdiri dengan tenang walaupun emosinya juga hampir memuncak. Ia harus menghadapi emosi Nino, dengan kepala dingin. Harus ada yang waras dari pertengkaran ini. Dan ia tahu, semarah apa pun Nino, ia tidak akan menggunakan ototnya untuk menyelesaikan masalah.
Senyum masih terpatri di wajah Elang, walau kaus yang sudah mencekik akibat kerasnya tarikan Nino. "Gue pikir lo tau segalanya tentang adik lo? Kenapa soal ini enggak?"
Nino membungkam. Cengkraman tangannya pada kerah kaus Elang mengendur dan terlepas. Namun rahangnya masih mengeras, lebih mengeras dari sebelumnya.
"Apa adik lo nggak cerita?" tebak Elang. "Atau mungkin dia takut? Karena selama ini lo selalu mengatur dengan siapa dia kenal?"
Elang merapikan kausnya yang sudah melonggar di bagian lehernya. Ia menatap Nino kembali yang masih terdiam. "Selama gue jalan sama dia, yang gue lihat, dia selalu takut ketahuan sama lo." ucapan Elang membuat kepalan tangan Nino mengeras. Mengapa ia bisa kecolongan seperti ini?
"Lo tahu, Nino? Lebih baik lo tahu dengan siapa dia kenal, daripada dia menutupi itu dari lo. Lebih baik lo jadi saudara yang dia segani, daripada lo jadi saudara yang dia takuti." ucap Elang memperingati.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Possessive Brother Affects
Teen Fiction(Follow dulu, sebagian part akan diprivate.) "For once, I would be selfish to ignore our feelings. Although it hurting me, Hurting you, Which means, Hurting us..."