Bunga Vanda Miss pekan lalu mekar lagi. Tersenyum cerah tanpa hambatan, sosok keunguannya menguak sampai menusuk mata, indah dan elegan.
Seseorang berhasil memetiknya dan membawa pulang ke Indonesia.
---
"Gila kalau gini gue bisa mati berdiri." Vanda menepuk-nepuk lagi kepalanya saat matanya baru saja mendapati Rival yang sedang bermain basket seorang diri didalam aula. Matanya menangkap sosok itu sejak awal. Vanda sama sekali tidak ingin angkat kaki dari tribun, biarlah Pak Bimo mengomelinya, bahkan mencarinya sampai kemari karena benda yang ia suruh bawakan tidak kunjung datang.
Vanda memukul sekali lagi kepalanya, lalu mengempiskan pipinya yang sejak tadi tidak berhenti mengulum sebuah senyuman. Vanda amat senang, ini adalah pemandangan yang langka. Dan Vanda tidak mau melewatkannya.
Rival dengan otot-ototnya memasukkan bola ke ring basket, jarak sejauh apapun, Rival dapat menjangkau ring itu. Seolah jarak yang ia ciptakan untuk melempar bolanya hanya sebatas sejengkal tangan. Rival benar-benar keren dari sudut pandang manapun. Kakinya yang berdecit membunyikan suara khas, berpadu sempurna, membuat Rival seakan-akan menari diarena lapangan. Keringatnya yang mengucur deras, rambutnya yang basah, semakin membuat Vanda gigit jari dan ingin berteriak kalau saja dibolehkan.
Seakan waktu berputar begitu cepat, Vanda turun dari tribun. Menyudahi segalanya yang berhasil membuatnya merekah. Dilihatnya lapangan sudah kosong. Dirinya tetap membawakan apa yang Pak Bimo suruh, sebuah tumpukan buku bapuk, hasil nilai olahraga anak kelas 12. Mungkin sudah tidak dibutuhkan lagi, karena jam pelajaran olahraga memang sudah selesai. Dan tepat sekali, Rival bolos di pelajaran itu, tentu saja Vanda juga karena asik menonton Rival.
"ASTAGA!" Vanda berjingkat saat tiba-tiba dibawah kakinya ia seperti menginjak benda lembut berbentuk tangan. Mati! "Sorry-sorry." Ujarnya buru-buru memindahkan kakinya dari tangan itu. Tangan milik seseorang yang sejak tadi ia lihat kekerenannya bermain basket.
Rival hanya mengernyit sebentar, kemudian dia bangkit. Menatap Vanda dengan tatapan super tajam lalu pergi meninggalkan Vanda yang merasa bersalah.
"Tung-nggu." Ucap Vanda sama sekali tidak dihiraukan oleh Rival. Cowok itu terus melangkah tanpa membalikkan badan. Bahkan berhenti melangkahpun tidak. "Rival tung-nggu!" Ulangnya mengumpulkan tenaga sebanyak mungkin.
BRAK!!!
Pintu aula ditutup kasar tanpa permisi. Membuat Vanda lagi-lagi berjingkat dan memandang cengoh kearah pintu. Beginilah akhirnya, setiap kali Vanda mengumpulkan energi untuk bisa mengobrol dengan Rival. Dia selalu gatot, gagal total.
Vanda memanyunkan bibirnya, bagaimana ia tidak tertarik dengan sosok Rival jika seperti ini. Cowok itu benar-benar dingin, semakin dingin Rival, semakin membuat Vanda ingin tau banyak hal tentang cowok itu. Semakin Vanda ingin mengejarnya.
"Vanda, woy dimana lo?---Gila lo kemana aja. Lama tau gak!" Bela uring-uringan karena melihat sahabatnya malah bengong didalam aula. Bela sontak menggeret tangan Vanda tanpa menunggu jawaban cewek itu, menyuruhnya untuk bertanggung jawab atas marahnya Pak Bimo.
Saat mereka sampai dihadapan Pak Bimo, Bela langsung kabur dengan cengiran tanpa dosa. Sahabat sih sahabat, tapi kalau sudah apes begini, Bela suka kabur-kaburan.
"Dari mana saja kamu Vanda. Kamu gak dengar tadi saya bilang apa! Nilai ini buat rekapan anak kelas 12. PENTING!" Tuturnya tegas sambil melayang-layangkan buku yang diambil Vanda didepan wajahnya. "Kamu sengaja bolos pelajaran saya ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The BadBoy Twins [COMPLETE]
Teen Fiction[BUKU 1] Rival dan Reval memang kembar, tapi Vanda jelas menentang kesamaan mereka. Dia bersikeras bahwa Rival berbeda dengan Reval. Meski kenyataan yang Vanda tidak bisa pungkiri adalah, keduanya sama-sama badboy kelas kakap. Cowok paling buruk sep...